Emosi Rakyat dan Kembalinya Demokrasi*

Demokrasi sering disebut sebagai sistem politik terbaik yang pernah ditemukan manusia, meski tentu tidak sempurna. Di Indonesia, demokrasi sudah melalui pasang surut: dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, hingga reformasi yang menegakkan demokrasi konstitusional. Namun belakangan, banyak suara yang mengeluhkan kualitas demokrasi kita yang dianggap menurun. Rakyat mulai resah: suara mereka kerap diabaikan, aspirasi ditutup-tutupi, dan kebijakan negara lebih condong pada kepentingan elite. Dalam kondisi seperti itu, muncul pertanyaan: apakah rakyat masih punya daya untuk mengembalikan demokrasi pada jalurnya? Menurut saya, jawabannya ada pada emosi rakyat. Justru ketika rakyat marah, ketika rakyat bosan, ketika rakyat tidak mau lagi ditipu, saat itulah demokrasi menemukan jalannya kembali.

Tidak bisa dimungkiri, demokrasi di Indonesia sering kali berjalan timpang. Pemilihan Umum (Pemilu) memang rutin digelar, tetapi praktiknya sarat dengan politik uang, manipulasi opini publik, bahkan penyalahgunaan aparat negara. Partai politik yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan kekuasaan, justru lebih sering berperan sebagai alat segelintir elite untuk melanggengkan dominasi. Lembaga demokrasi, seperti parlemen dan pers, kadang kehilangan daya kritis karena kooptasi (keserakahan) kekuasaan. Akibatnya, demokrasi kita kerap terasa “kosmetik”: secara formal berjalan, tetapi substansinya melemah. Rakyat dipanggil untuk memilih setiap lima tahun, tetapi setelah itu suara mereka tenggelam dalam hiruk-pikuk kepentingan elite politik.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Di titik inilah emosi rakyat memainkan peran penting. Emosi politik tidak selalu buruk; ia bisa menjadi energi sosial yang menggerakkan perubahan. Lihat saja sejarah reformasi 1998. Kemarahan rakyat terhadap krisis ekonomi, korupsi, dan otoritarianisme melahirkan gelombang protes yang akhirnya meruntuhkan rezim Orde Baru.

Ketika rakyat jengkel melihat korupsi yang merajalela, ketika rakyat muak melihat kebijakan tidak berpihak pada mereka, dan ketika rakyat merasa dikhianati oleh elite politik, emosi kolektif itu bisa berubah menjadi kekuatan perlawanan. Emosi yang terkonsolidasi dalam kesadaran bersama mampu menyalakan kembali mesin demokrasi. Namun, emosi rakyat tidak boleh berhenti pada kemarahan semata. Demokrasi tidak akan kembali hanya dengan teriakan di jalan atau luapan rasa frustrasi. Emosi harus ditransformasikan menjadi tindakan politik yang sadar, misalnya melalui organisasi masyarakat sipil, gerakan mahasiswa, partisipasi dalam pemilu, hingga advokasi kebijakan publik.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan