Pondok pesantren, sejak masa awalnya, telah menjadi ruang dialektika yang hidup antara tradisi dan nalar. Di balik dinding-dinding surau dan gelaran tikar di bawah cahaya lampu minyak, para santri menekuni kitab kuning bukan hanya sebagai hafalan, tetapi sebagai medan tafakur.
Akan tetapi, dalam realitas intelektualnya, muncul dua poros dominan dalam cara santri memahami dunia: santri empirisis dan santri rasionalis. Keduanya bergerak dalam nalar keislaman yang sama, namun menggunakan pendekatan yang berbeda.

Artikel ini mencoba mengulas pertarungan diam-diam antara keduanya: santri yang mengandalkan pengalaman dan realitas indrawi, dan santri yang menjunjung tinggi akal dan deduksi logis.
Santri Empirisis
Santri empirisis adalah mereka yang menempatkan pengalaman sebagai titik berangkat berpikir. Mereka mendekati teks dan realitas keagamaan dengan pendekatan observasi, interaksi sosial, dan kesaksian inderawi. Dalam istilah John Locke, “the mind is a blank slate“, akal manusia adalah tabula rasa yang diisi oleh pengalaman.
Di lingkungan pesantren, santri empirisis dapat dikenali dari kecenderungan mereka yang mengaitkan teks dengan kondisi nyata masyarakat. Mereka sering aktif dalam kegiatan sosial-keagamaan, turun ke lapangan, mendampingi petani, buruh, atau menjadi aktivis kemanusiaan. Bagi mereka, makna agama baru terasa ketika bersentuhan dengan realitas.
Mereka banyak dipengaruhi oleh pendekatan fikih sosial ala KH Sahal Mahfudz atau metode tafsir sosial Muhammad Abduh. Pendekatan ini dekat dengan semangat maqashid syariah, bahwa hukum dan teks harus dipahami dalam konteks kemaslahatan nyata.
Namun, kritik terhadap santri empirisis adalah kecenderungan mereka kehilangan kedalaman teoretis. Teks-teks klasik bisa terbaca sekadar alat legitimasi tindakan, bukan ruang kontemplatif.
Santri Rasionalis
Di kutub lain, terdapat santri rasionalis. Mereka adalah tipe pemikir yang meyakini bahwa kebenaran bisa dicapai lewat akal. Dalam tradisi filsafat Islam, pendekatan ini dekat dengan para mutakallim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, hingga Imam Al-Ghazali (sebelum krisisnya).
Santri rasionalis cenderung gemar berdialektika, membaca teks dengan pendekatan logis, memadukan mantiq, ushul fikih, dan filsafat. Di lingkungan pesantren, mereka adalah pemburu makna dalam teks, sering menghabiskan waktu dalam diskusi berlapis-lapis seputar qiyas, ‘illat, dan logika Aristotelian.
Mereka melihat teks sebagai simbol dari realitas metafisik, bukan sekadar rujukan praktis. Bagi mereka, pengalaman tidak cukup tanpa kerangka berpikir yang kuat. Rasio adalah alat utama untuk menafsir dunia, bahkan Tuhan.
Namun, pendekatan ini juga punya titik lemah. Santri rasionalis kadang terjebak dalam menara gading nalar, kehilangan sensibilitas sosial, dan kurang terlibat dalam dinamika umat.
Dialektika Dua Kutub
Pertanyaan besar yang muncul adalah: mungkinkah santri empirisis dan rasionalis berdamai? Jawabannya mungkin bukan “bertemu di tengah,” tetapi “bertemu dalam visi.” Karena keduanya sesungguhnya saling membutuhkan.
Dalam filsafat ilmu, empirisme dan rasionalisme bersatu dalam sintesis Kantian, bahwa pengetahuan memerlukan pengalaman dan akal sekaligus. Demikian pula dalam Islam: Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling rasional dalam berpikir, namun paling empirik dalam merasakan penderitaan umat.
Pesantren seharusnya menjadi ruang sintesis itu: tempat di mana teks tidak dimatikan oleh pengalaman, tapi justru dihidupkan olehnya; tempat di mana nalar tidak terjebak dalam abstraksi, tapi dibumikan melalui praksis sosial.
Menuju Pesantren Transformatif
Santri hari ini hidup dalam dunia yang menuntut keberanian berpikir dan bertindak. Jika santri empirisis membawa pesantren turun ke bumi, dan santri rasionalis mengangkatnya ke langit nalar, maka generasi baru harus mampu berjalan di antara keduanya. Pesantren ke depan tidak cukup hanya menjadi gudang ilmu, tetapi juga laboratorium sosial dan filsafat hidup. Karena Islam bukan hanya agama wahyu, tapi juga agama akal dan empati.
Referensi:
Abdullah, M. Amin. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika Keilmuan Islam. Yogyakarta: LKiS, 2006.
Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason. Germany: Johann Friedrich Hartknoch, 1781.
Locke, John. An Essay Concerning Human Understanding. London: Thomas Basset, 1690.
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1993.
Mahfudz, K.H. Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.