Lapar itu tidak enak. Lapar itu menyakitkan. Lapar itu sangat menyiksa. Oleh karena itulah saya merasa sangat yakin, tak ada seorang pun di dunia ini yang sudi merasakan lapar. Lantas, bila lapar itu benar-benar merupakan sebuah penderitaan, mengapa Tuhan memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berpuasa di bulan Ramadan? Menahan lapar dan dahaga sepanjang hari? Sebulan penuh pula?
Ternyata bila dikaji secara mendalam, di balik rasa lapar yang menyiksa tersebut terkandung filosofi yang sangat luar biasa. Bagi orang yang mampu merenunginya tentu akan berusaha dengan ikhlas menjalankan puasa sebulan lamanya, tanpa merasa keberatan, tanpa mengeluh, tanpa berniat ingin mokel (membatalkan puasa) secara diam-diam—misalnya keluar rumah mencari warung makan yang khusus pada bulan suci pintunya mendadak diberi tirai).
Sebagaimana kita ketahui bersama, orang berpuasa tentu merasakan lapar dan dahaga. Namun dari situ kita akan merasakan nikmatnya makanan dan minuman ketika waktu berbuka puasa telah tiba. Meski hanya beberapa suap makanan dan beberapa teguk air. Sebagaimana orang yang sedang sakit, biasanya dia baru bisa merasakan dan menghargai nikmatnya sehat. Meskipun setelah sembuh dan tubuh kembali bugar, kadang dia kembali lupa untuk mensyukuri nikmat sehat tersebut.
Selain itu, rasa lapar yang kita rasakan ketika melakukan puasa sehari penuh mengajarkan kita tentang arti ‘menahan diri’ dari beragam hawa nafsu yang mengajak kita untuk menabrak larangan-larangan Tuhan. Muhammad Abror dalam tulisannya (NU Online, 13/04/2021) menguraikan, ketika seseorang berpuasa, maka ia akan menhana diri dari makan dan minum. Dengan tidak makan dan minum, maka hawa nafsu (syahwat) akan terkendali. Jika nafsu terkendali, maka sulit bagi setan untuk menggoda manusia, karena pintu utama bagi setan adalah hawa nafsu itu sendiri. Dengan terbebas dari godaan setan, ibadah pun lebih maksimal.
Faedah Lapar
Dr. Zaprulkhan, S. Sos.I, M.S.I. (2015: 70-76) menjelaskan lima faedah lapar sebagaimana pernah diterangkan Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin. Pertama, lapar membersihkan hati dan menyibak tirai yang menutupi mata hati. Rasa lapar membersihkan hati kita dari sifat tamak dan rakus. Rasa lapar mengobati jiwa kita dari penyakit riya dan dengki. Dengan lapar kita diajak untuk memikirkan sesuatu yang bernuansa spiritual, bukan hanya sesuatu yang berbentuk material.
Kedua, lapar melembutkan hati sehingga bisa merasakan kelezatan dan terkesan dalam berzikir. Kita mungkin sudah lama beribadah kepada Allah. Salah satu ibadah yang rajin kita laksanakan adalah zikir, mengingat Allah. Yang jadi persoalan, sudahkah kita merasakan kelezatan berzikir? Sudahkah zikir-zikir yang kita lakukan selama ini memberikan kesan dalam hati dan jiwa kita? Kalau belum, mungkin ketika berzikir kita selalu dalam keadaan kenyang. Perut kita penuh dengan makanan dan minuman. Padahal sewaktu dalam kondisi kenyang kita akan sulit merasakan lezatnya zikir.
Ketiga, lapar menyebabkan hawa nafsu menjadi hina dina sehingga tidak mampu menyombongkan diri dan mengkufuri nikmat. Hawa nafsu senantiasa mengajak kita pada puncak kepongahan. Hawa nafsu pandai membuat kita lalai pada kelemahan sejati kita. Gejolaknya yang membara acapkali melengahkan kita dari ketidakberdayaan dan kehinadinaan kita. Padahal kelemahan dan ketidakberdayaan merupakan karakter sejati kita sebagai manusia. Sedangkan hawa nafsu tidak dapat lemah dan hina dengan apa pun selain dengan lapar dan dahaga.
Keempat, lapar mampu menundukkan kekuatan hawa nafsu yang selalu mengajak kepada perbuatan maksiat. Inilah faedah rasa lapar yang paling benar. Sesungguhnya sumber dari semua kemaksiatan adalah merajalelanya bujukan hawa nafsu. Sementara sumber kekuatan hawa nafsu adalah melalui makanan dan minuman.
Kelima, rasa lapar dan dahaga yang kita rasakan secara kontinu dalam waktu tertentu bisa memberi dampak pada kesehatan kita. Berdasarkan penelitian di Barat, ditemukan orang-orang yang sering merasakan lapar dalam keadaan teratur, mungkin kalau dalam Islam seperti puasa di bulan Ramadan, maka akan mengalami pembaruan sistem pencernaan. Jadi, ketika seseorang merasakan lapar secara teratur, sistem pencernaannya akan istirahat sejenak walaupun tidak berhenti secara mutlak. Pada saat istirahat inilah sistem pencernaan kita mengalami pembaharuan kembali (renewal), sehingga menjadi lebih baik dari sistem pencernaan yang sebelumnya.
Kesimpulannya, lapar dan dahaga yang dirasakan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia selama puasa sebulan penuh di bulan Ramadan ini banyak memberikan manfaat atau keuntungan. Saya yakin, dengan merenungi manfaat atau faedah lapar tersebut, kita dapat termotivasi untuk lebih ikhlas dan khusyuk dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini. Wallahu a’lam bish-shawaab.