Sebuah film Bollywood berjudul “Gangubai Kathiawadi” barangkali menjadi satu-satunya film yang mengangkat isu kesetaraan dalam memperjuangkan hak martabat dan keadilan bagi perempuan. Sanjay Leela Banshali, sebagai sutradara film itu, berhasil meracik dengan merepresentasikan fenomena yang kerap terjadi dewasa ini.
Saya yakin, siapa pun yang menonton film itu akan merasakan hal yang saya rasakan; bangga, haru bercampur malu. Persis di dalam alur itu pula, terdapat adegan penting yang saya rasa masih sangat relevan dengan fenomena yang sedang dihadapi perempuan sekarang ini.
Di bagian awal film itu, terdapat seorang gadis muda bernama Ganga Harjeevandas Kathiawadi (tokoh utama) yang memiliki impian besar untuk menjadi aktris Bollywood. Dengan dalih membantunya mencapai ketenaran, sang kekasih bernama Ramnik membujuknya untuk kawin lari dan pergi bersamanya ke Mumbai.
Saat sampai di kota, Ramnik bukan membawa Ganga bertemu sutradara, malah menjualnya ke rumah bordil di Kamathipura. Tidak ada pilihan lain, Ganga berubah menjadi pelacur dan memakai nama baru, Gangubai.
Pada suatu ketika, akibat pertemuan brutal dengan pelanggannya, Gangubai menemui salah satu mafia kota saat itu, Rahim Lala. Dengan pemikiran cerdas dan koneksi dunia bawah/politik, Gangubai berhasil membuat Rahim untuk membantunya dalam memperjuangkan hak perempuan dan pekerja seks. Perlahan-lahan Gangubai menyelamatkan para perempuan muda dari jebakan jual-beli yang terjadi di rumah bordil itu.
Perjuangan Gangubai Kathiawadi dalam aktivisme dan advokasi membela hak-hak pekerja seks menorehkan sejarah mendalam dari kelompok yang kerap dianggap tabu dan banyak mengalami diskriminasi. Hal ini terlihat ketika Gangubai memperjuangkan anak-anak dari pekerja seks untuk tetap mendapatkan pendidikan.
Pada titik inilah yang menurut saya sangat relevan; “sekolah tidak mau menerima anak-anak dari para pekerja seks”. Sekolah tidak mau menanggung malu hanya karena “anak dari pekerja seks”.
Problem Dasar Sekolah
Penolakan dengan dalih etika dan latar belakang berdasar kurikulum seringkali menyumbat supremasi pendidikan di mana-mana. Jangankan di sebuah film, dalam kehidupan sehari-hari saja banyak kita temui hal demikian. Sekolah seringkali “cuci tangan” dalam mengahadapi siswa (dalam bahasa kasarnya); background buruk.
Peristiwa dalam film itu, tidak lain hanyalah tamsil kecil betapa sekolah cenderung terkesima pesolek citra (nama baik). Hingga pada akhirnya lupa, bahwa tugas luhur sesungguhnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa memandang latar belakang dan statusnya.
Menurut Munif Chatib (2009), sekolah tidak berhak memetakan kategori etis dan nonetis pada siswa. Karena sekolah bukan surga, tempat orang baik dengan segala statusnya berkumpul. Apa pun kondisi dan latar belakang siswa, pasti terdapat potensi besar yang tertanam. Persoalan ada perbedaan “latar belakang” sudah menjadi tugas sekolah untuk memodifikasinya.
Tetapi faktanya, sekolah seringkali menolak bahkan cuci tangan setiap menghadapi siswa dengan latar belakang yang berbeda. Guru tidak mau ambil pusing dalam menghadapi problem vital ini. Tidak jarang, siswa harus harus memutus ikatan suci dengan lingkungan sekolah, bahkan dengan dunia pendidikan.
Barangkali, film besutan sutradara Sanjay Leela Banshali merupakan gambaran serta kritikan untuk dunia pendidik dimana saja, untuk bisa merangkul sekian perbedaan dan memodifikasinya menjadi insan yang terdidik. Tanpa melihat latar belakang dan status dari masing-masing siswanya.
Karena pada hakikatnya, siswa bukanlah anak ajaib yang dikirimkan Tuhan dari surga, sehingga mereka tidak mempunyai noda. Walhasil, film “Gangubai Kathiawadi” kaya akan pesan moral dan menjadi saksi dari pergulatan batin seorang Ganga Harjeevandas Kathiawadi untuk memperjuangkan hak dan martabat perempuan. Wallahu A’lam