Angin gurun menerpa wajahku. Sesekali pasir dari sahara itu mengempas mukaku, saat aku duduk merenung di bawah pohon kurma. Suasana panas sudah biasa. Tetapi keadaan di sekitarku tidak seperti biasanya sejak kedatangan Muhammad. Ya, Muhammad yang menobatkan diri sebagai utusan Tuhan. Aku begitu yakin. Mempercayai setiap omongannya, karena sejak semula Muhammad dikenal dengan Al-Amin. Lelaki yang dapat dipercaya. Selama hidupnya tidak pernah ia berkata dusta. Jujur sejujur-jujurnya.
Aku heran dengan orang-orang Quraisy. Mengapa mereka mendustakan Muhammad. Bukankah sudah jelas tanda-tandanya? Bukti itu begitu nyata. Muhammad membawa risalah sebagaimana yang dijanjikan di dalam kitab-kitab terdahulu. Setiap ucapan Muhammad adalah kebenaran. Hanya orang-orang yang tinggi hati, gengsi, dan mau menang sendiri yang menentang kenabian Muhammad.
“Aku akan hijrah sesuai perintah Muhammad,” desahku sambil melihat ke sana-kemari khawatir ada yang memergoki keinginanku.
***
Orang-orang memanggilku Ummu Qais. Aku dikarunia wajah cantik oleh Allah. Aku juga diberi hidayah lebih awal menerima Islam daripada yang lainnya. Aku adalah seorang wanita yang ingin menperjuangkan kemenangan Islam. Maka ketika ada anjuran hijrah, aku pun tanpa berpikir panjang ingin turut dalam dakwah ini. Karena aku yakin, Muhammad telah mendapat wahyu atas keputusan hijrah ini.
Awal perkembangan Islam merupakan masa yang sangat memprihatinkan. Kami para penganut Islam harus sembunyi-sembunyi dalam melakukan kegiatan keagamaan. Jumlah kami masih sedikit, jadi kami terpaksa harus berhati-hati dalam setiap tindakan yang menyangkut keagamaan.
“Sudah siap, Ummu Qais?” seorang teman wanitaku berbisik persis di daun telingaku. Aku paham, bahwa tidak boleh ada orang kafir yang tahu tentang rencana besar ini. Hijrah, melakukan perjalanan yang memakan waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu.
“Tentu, Kawan,” jawabku mantap. “Bagaimana dengan dirimu?” Aku bertanya dengan penuh perhitungan. Rencana ini harus tetap dirahasiakan.
“Aku juga sudah siap,” jawab temanku itu sambil mengerjitkan mata. Aku hanya tersenyum melihatnya.