SUARA HUJAN MENGABARKAN LUKA
Hujan datang kepadaku, seperti peringatan dari masa lalu, mengetuk bumi dengan jemari basahnya, mengabarkan luka-luka yang meski tak segar lagi, tetap terasa nyeri, bagaikan lecutan pertama yang tak bisa kulupakan.

Aku mendengar suaranya—tangisan yang jatuh satu per satu, mengusik kenangan-kenangan yang telah kutimbun dalam pelataran malam yang penuh penyesalan.
Pernahkah kau menyadari, hujan adalah suaraku, juru bicara dari setiap luka yang kutanggung? Ia merangkai nyeri dalam nada dingin, menggemakannya hingga menusuk relung terdalam dalam hatiku.
Cinta yang dulunya tumbuh liar dan bebas, kini gugur di bawah langit yang dingin. Aroma tanah basah yang tertinggal terus mengingatkan pada kita. Kita, yang pernah saling menghancurkan, terjebak dalam kenangan menyakitkan ini.
Bangunjiwo, 2024.
JEJAK TRAUMA DI TANAH BASAH
Langkah-langkah kita tertinggal di tanah basah ini. Tak ada yang benar-benar hilang dari hidupku, hanya disembunyikan oleh waktu yang kejam dan luka-luka yang terpendam dalam diam.
Tanah ini, dulunya adalah tempat kita menanam kasih, dengan doa-doa yang terbang melangit. Kini, semua itu telah berubah menjadi reruntuhan, dihuni oleh hantu-hantu trauma yang tak pernah benar-benar pergi dari hidupku.
Kau tahu? Trauma ini bukan sekadar bayang-bayang di kaca buram. Ia belati yang terbenam dalam dada, menunggu hingga aku bernapas terlalu dalam untuk kembali merasakan sakitnya.
Di tanah ini, kutemukan kebenaran bahwa melupakan adalah sebuah kebohongan, dan cinta yang hancur adalah mimpi buruk yang tak pernah bisa dibangunkan kembali.
Bangunjiwo, 2024.
KEPING RINDU DI TENGAH BADAI
Badai menyapu laut, seperti kemarahan Tuhan yang teramat dalam. Di tengah gulungan ombak, aku melihat perahu kecil bernama rindu, mengapung tanpa arah, menunggu karam dalam sunyi yang tak bernama.
Rindu ini lebih dari sekadar ingatan; ia adalah luka yang berdenyut, yang tak bisa kuobati meski dengan doa atau air mata yang jatuh di malam buta.
Aku pernah mencintaimu dengan cara yang sama seperti laut mencintai langit—tak pernah bersentuhan secara nyata, namun selalu berharap badai takkan pernah datang. Namun badai itu datang, dan cinta kita hancur menjadi pecahan kayu, terapung di tengah kehampaan.
Badai yang mengguncang ini adalah jawaban betapa rindu tak pernah sampai, dan cinta hanyalah sesuatu yang karam sebelum sempat menjadikanku rumah.
Bangunjiwo, 2024.
SENANDUNG HUJAN DI RETAKAN JIWA
Hujan bernyanyi di dalam jiwa yang telah retak. Nada-nada dingin memenuhi celah yang kosong, seolah sesuatu mencoba untuk utuh, meskipun menyadari bahwa ia tak lagi sempurna.
Ada serpihan dirimu yang tersisa di sini, terjebak di antara retakan kecil dalam hatiku, berbicara dalam suara yang tak pernah selesai. Aku berusaha mendengar, namun suara itu hanya menyakitkan.
Hujan ini, adalah pengingat bahwa cinta kita bukanlah bangunan utuh, melainkan pecahan kaca yang berserakan di lantai hati, melukai siapa pun yang berani mencoba menyentuhnya.
Aku berjuang untuk merangkai kembali setiap serpihan itu, namun luka ini terlalu dalam, dan hujan terus bernyanyi, memenuhi ruang dengan rintihan yang tak pernah reda.
Bangunjiwo, 2024.
RINDU TERKUBUR DI PELUKAN LANGIT
Langit merangkul rinduku seperti seorang ibu, tetapi pelukan itu terasa begitu dingin. Rindu menggantung di udara, seperti nyawa yang tak tahu caranya untuk turun ke bumi.
Aku mencintaimu seperti hujan mencintai bumi, tetapi tanah ini terlalu keras. Cinta itu jatuh, pecah, menyisakan genangan yang tak kunjung kering.
Trauma ini, bukan sekadar luka di permukaan. Ia adalah akar yang menyusup ke dalam hati, menjalar ke setiap sudut ingatan, meninggalkan rasa perih yang tak bisa kubagikan kepada siapa pun.
Langit menjadi saksi bisu, namun tetap diam. Rindu ini terkubur di sana, dalam pelukan yang tak pernah menghangatkan, menunggu hari ketika kita dapat benar-benar melepaskannya.
Bangunjiwo, 2024.