Siapa yang tidak kenal tokoh filsafat satu ini. Ya, dia adalah Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Rusyd. Dia dibesarkan dari keluarga yang tersohor di Andalusia, Spanyol. Dia lahir pada tahun 1126 M di Cordova dan meninggal di Maroko pada tahun 1198 M.
Di masyarakat Barat, Ibnu Rusyd lebih dikenal dengan nama Averroes yang nantinya akan melahirkan suatu aliran mazhab filsafat yang bernama Averroeisme. Ibnu Rusyd pernah ditunjuk sebagai hakim di Seville dan dia juga pernah diminta menjadi dokter di Istana Cordova.
Reputasinya sebagai seorang filsuf dan hakim telah membawa pengaruh besar di kalangan ulama dunia di zamannya. Pengaruhnya ini sangat dirasakan pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur.
Namun, di tengah kepopulerannya tersebut, ada sebagaian fukaha atau ahli fikih yang merasa iri dan tidak senang dengan Ibnu Rusyd. Alasanya karena Ibnu Rusyd mendapat kedudukan istimewa di Istana. Selain itu juga karena pemikirannya dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Nasibnya pun sangat tragis. Dia menjadi korban fitnah dari para ulama fikih yang merasa cemburu dengan Ibnu Rusyd. Para ulama fikih akhirnya menghasut Khalifah Al-Mansur untuk mendeskreditkan Ibnu Rusyd. Akibatnya, Ibnu Rusyd diasingkan oleh Khalifah Al-Mansur ke suatu perkampungan Yahudi dan kemudian dipindahkan ke Maroko hingga akhir hayatnya.
Perdebatanya dengan Imam Al-Ghazali telah menjadi noktah sejarah panjang dunia pemikiran Islam hingga kini. Pro-kontra tentang boleh tidaknya belajar filsafat menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh kalangan umat Islam setelah Al-Ghazali mengeluarkan statemen tentang haramnya belajar filsafat melalui bukunya yang berjudul Tahafut Al Falasifah atau Kerancuan Para Filsuf. Dampak pernyataan Al-Ghazali tersebut membuat sebagaian umat Islam merasa ragu-ragu untuk belajar filsafat.
Dampak pernyataan Al-Ghazali tersebut bahkan mempengaruhi sebagian kalangan pesantren di Indonesia hingga anti pati terhadap buku-buku filsafat. Karena, menurut mereka, belajar filsafat sama dengan membuka pintu kesesatan.
Apa yang dituduhkan mereka itu sebetulnya berakar dari kritik Al-Ghazali terhadap filsafat. Padahal, bila kita telaah lebih jauh lagi, sebetulnya Al-Ghazali hanya mengkritik tiga hal pada filsafat, yaitu tentang Tuhan tidak mengetahui sesuatu yang kecil, kebangkitan jasmani dari kubur, dan kekekalan alam semesta.
Artinya, Al-Ghazali tidak mengharamkan filsafat secara mutlak. Dengan adanya kritikan dari Al-Ghazali ini, maka kemudian Ibnu Rusyd melakukan pembelaan terhadap filsafat melalui karya momumentanya yang berjudul Tahafut Al Tahafut atau Kerancuan dalam Kerancuan. Buku ini merupakan kritikan terhadap karya Al-Ghazali.
seperti apa sesungguhnya pemikiran filsafat Ibnu Rusyd hingga terlibat polemik dengan Al-Ghazali hingga mempengaruhi pemikiran dunia Islam. Berikut inti pemikiran filsafatnya.
(1) Tentang Filsafat
Dalam bukunya Tahafut al Tahafut, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa filsafat sama sekali tidak bertentangan dengan agama, sebagaimana yang dituduhkan Al-Ghazali dan ulama fikih. Menurutnya, umat Islam justru wajib belajar filsafat. Sebab, belajar filsafat mengajak orang-orang untuk selalu berpikir, sedangkan berpikir itu sendiri merupakan “sunah Nabi” —memimnjam istilah Prof Musa Asy’ari “berfikir profetik.”
Selain itu, banyak ayat Al-Quran yang menyindiri manusia agar berpikir. Misalnya, ada ayat yang mengatakan “Apakah kamu tidak berpikir?” (Al-Baqarah: 44) atau “Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kalian agar supaya kalian memikirkannya.” (Al-Baqarah: 266). Dan masih banyak sekali ayat Al-Quran yang menyeru agar manusia menggunakan akalnya untuk berpikir, dengan kata lain berfilsafat. Jika ada pendapat akal dan wahyu yang bertentangan, maka solusinya harus diberikan intepretasi atau penafsiran sehingga sesuai dengan penafsiran akal.
(2) Tentang Tuhan
Dalam persoalan ini tampaknya Ibnu Rusyd mengamini pendapat Aristoteles, yang mengatakan bahwa Tuhan tidak tahu perkara-perkara kecil. Dia mengibaratkan seperti seorang presiden atau raja yang tidak mengatahui perkara-perkara kecil di wilayah kekuasaannya. Menurutnya, Tuhan itu sebagai penggerak akal murni yang memiliki derajat sangat tinggi. Oleh sebab itu, agar sejalan dengan derajat tinggi tersebut, maka pengetahuan Tuhan harus seimbang dengan kemuliaan zat-Nya sendiri (Baca:Berkenalan dengan Filsafat Islam).
Sebab yang diketahui mestinya juga sesuatu yang mulia. Dengan kata lain bahwa pengetahuan Tuhan terbatas pada zat-Nya sendiri. Alasan yang lainya, objek ilmu menjadi sebab lahirnya ilmu itu sendiri. Maka, seandainya Tuhan mengetahui perkara kecil dalam arti sesuatu yang kurang sempurna, berarti dapat dikatakan bahwa pengetahuan Tuhan disebabkan oleh sesuatu yang kurang sempurna tersebut. Jika demikian, maka pengetahuan Tuhan masih membutuhkan alam kejadian dan kebinasaan. Sebab, bila kita telaah lebih jauh lagi, justru pendapat di atas sangat bertentangan dengan pendapat yang meyakini bahwa Tuhan tidak bergantung pada makhluknya.
(3) Tentang Keazalian Alam
Menurut Ibnu Rusyd, alam ini bersifat azali dan ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam. Karena, menurutnya, azalinya Tuhan jauh lebih utama dari pada keazalian alam. Ibnu Rusyd mengatakan, jika misalnya alam tidak azali, maka alam ini baru dan oleh sebab itu harus ada yang menciptakanya. Dan yang menciptakannya itu pasti ada yang menciptakannya. Maka, di sini terjadilah tasalsul atau mustahil bisa diterima akal. Jika demikian, maka mustahillah jika alam ini baru.
(4) Tentang Perbuatan Tuhan
Selama ini kita menganggap bahwa semua benda dan kejadian yang terjadi merupakan perbuatan Tuhan, baik itu perkara besar ataupun kecil. Sebaliknya, bagi para filsuf materi itu bersifat kekal. Setiap materi tersebut mengandung berbagai macam jauhar dan setiap jauhar melahirkan jauhar baru. Sehingga dianggap tidak ada peran tuhan di dalamnya.
Sebagaimana pandangan Aristoteles bahwa jauhar menjadi subtansi pertama dari suatu materi yang menjadi sebab lahirnya jauhar kedua tanpa meminta bantuan pada zat di luar dirinya. Ini berarti bahwa sebab dan akibat dari penciptaan terletak pada materi itu sendiri.
Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa jika Tuhan menciptakan segala sesuatu yang terjadi di alam ini, maka akibatnya ide tentang adanya sebab akibat itu tidak memiliki arti apa pun. Sebagaimana kita ketahui bahwa sesuatu yang terjadi di alam ini tidak lepas dari hukum kausalitas atau sebab akibat.
(5) Tentang Akal Universal
Ibnu Rusyd sependapat dengan Ibnu Sina dan Al-Farabi mengenai hal ini. Menurutnya, akal itu satu dan bersifat universal. Artinya, bukan hanya akal aktif, namun juga akal potensial. Keduanya sama dan dimiliki oleh setiap orang.
Akal potensial baru menjadi individu tertentu bila dihubungkan dengan bentuk materi yang berujud manusia individu. Maka, ketika orangnya meninggal dengan demikian lenyap pula akal potensial tersebut. Yang dimaksud akal di sini artinya roh atau jiwa yang bersatu dengan jasad manusia, sebab akal menjadi unsur penting bagi jiwa manusia. Akal tersebut merupakan wujud rohani yang berbeda dengan roh atau jiwa tumbuhan dan binatang. Yang dimaksud roh universal itu adalah satu dan abadi.