Ibu dalam Larikan Puisi

140 views

SYAIR IBU
Oleh: Nurul Ilmi El-Banna

adalah air mata dan doa
sumbu segala bahagia ataupun duka
hari-hari yang mengubur catatan kepulangan, nak

Advertisements

bila matahari telah mampu menghangatkan, 
melebihi pelukan ibu dari seberang
jarak dan waktu memang sungguh menghakimi
menelan rumah kita ke dalam sepi

nak, bila tiba waktumu pulang
jangan lupa mencuci usia di antara laut dan langit yang terpaut
tinggalkan maut dan kemelut
pulanglah membawa rindu beserta matahari di kepalamu 
di sini aku tugur membeku

Yogyakarta, 2014.
(Dari buku: “Ketam Ladam Rumah Ingatan“)

***

Ungkapan puitis (cinta) seorang anak terhadap ibu sudah sering saya baca. Dan, salah satu puisi “ibu” yang sangat menyentuh adalah puisi yang ditulis oleh D Zawawi Imron. Ini yang saya rasakan, yang tentu saja orang lain bisa merasakan hal yang tidak sama. Salah satu baitnya yang menghantam dinding nurani saya adalah,

“/bila aku berlayar lalu datang angin sakal/Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal/ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala/”

Hakikat cinta seorang ibu seyogyanya tidak akan bisa diwakili oleh kata-kata. Kasih yang begitu menderu, dan sayang yang tidak terungkapkan. Kasih ibu sepanjang jalan, tiada bersudah dan terus melekat sepanjang zaman.

Syair Ibu adalah judul puisi dari Saudari Nurul, lengkapnya Nurul Ilmi El-Banna. Dalam kontemplasi angan saya, syair ini lebih mengacu kepada doa. Harapan dan keinginan agar sang anak selalu dalam lindungan Tuhan. Doa yang paling mengada, mendada, harapan yang tiada berkesudahan. Doa ibu bagaikan azimat nurani yang tidak pupus oleh berjalannya sang waktu.

/adalah air mata dan doa/ sebagai penjabaran dari syair, yaitu doa dan harapan yang terus membuncah, hingga pecah air mata cinta. Mengucur tangis sebagai keinginan yang tiada berkisah. Bahwa, ibu adalah sebuah keinginan agar anaknya “parjuga,” bahagia dunia dan akhirat.

Ibu adalah tempat mengadu. Dada ibu selalu ada untuk sang anak sebagai harapan masa depan. Rintangan dan halangan, luka dan air mata, suka cita dan duka lara, adalah teman karib untuk membawa si buah hati ke langit kebahagiaan. /sumbu segala bahagia ataupun duka/. Tempat untuk mengaduh ataupun lubuk untuk melukis bahagia.

Berharap kepulangan si buah hati (anak semata wayang) ketika ia pergi untuk segala maksud dan cita, adalah nafiri doa-doa yang selalu hangat di pelupuk mata. Hati ibu selalu bergetar untuk kepulangan yang melegakan. Bahagia. Tak kurang suatu apa. /hari-hari yang mengubur catatan kepulangan, nak/

Pergi untuk belajar, mencari kerja, atau pun pergi untuk sekadar refreshing atau rekreasi. Doa dan harapan ibu hanya satu; pulang dengan membawa hati yang indah, bahagia, dan berwajah riang. Tentu, akan semakin lengkap (dalam doa ibu) jika anak ibu pergi untuk urusan akhirat (berjihad, mencari jodoh, belajar/mengajar, dll.). Tercatat di relung hati ibu yang paling dalam. Dalam suatu wadah atau tempat yang tidak pernah berbekas kekecewaan. Cahaya yang tetap memancar walaupun badai datang menerjang. Dada ibu adalah bumi sekaligus langit yang melingkupi cinta anaknya.

/bila matahari telah mampu menghangatkan,/ Mungkinkah? Apakah mungkin ada sesuatu yang lain yang /melebihi pelukan ibu dari seberang/? Tentu saja jawabannya adalah “tidak ada!” Tidak akan ada satu pun yang dapat melebihi pelukan kasih ibu. Bahkan, matahari sekalipun tidak akan mampu memberikan kehangatan yang sepadan dengan cinta ibu.

Namun, sebagai ibu yang bijak, tentu saja anaknya harus merasakan kehangatan dunia lain. Agar tercipta komparasi, ada pembanding antara cinta ibu dan cinta-cinta yang lain. Itulah kehidupan yang sesungguhnya. Ada realitas rasa dari rona kehidupan yang harus dicecar oleh orang yang ingin merasakan nikmat hidup yang sebenarnya. Bukan “anak mama” yang selalu hidup bergantung tanpa punya pendirian kehidupan yang penuh dengan nuansa hidup.

/jarak dan waktu memang sungguh menghakimi/menelan rumah kita ke dalam sepi/ Sebuah kebenaran yang hakiki, bahwa jarak telah membuat kebijakan untuk menyelami hidup yang kokoh, pantang menyerah. Perpisahan antara ibu dan anak diproyeksikan sebagai jembatan untuk meneguhkan jalan hidup yang tidak gampang. Rumah yang sepi, lepas dari celoteh “comel” yang menggemaskan adalah bagian romantika jalan kehidupan. Tidak mengapa kalian (nak) pergi untuk mewujudkan segala cita cinta yang akan dibawa pulang pada saatnya nanti. Pergi untuk kembali, dan kembali untuk memberikan arti dan harapan-harapan hidup yang hakiki.

/nak, bila tiba waktumu pulang/ setelah pergi untuk membangun hakikat diri, setelah mendapatkan harapan dan mimpi-mimpi, setelah cita-cita itu telah diraih dan siap untuk membangun negeri. Waktunya pulang telah tiba untuk memberikan yang terbaik bagi kaumnya. Berdakwah di kampung halaman, sebagaimana mereka harapkan nilai kebaikan untuk menjabarkan inti sari kehidupan, kebenaran hakiki untuk bekal kehidupan yang abadi.

Tapi, /jangan lupa mencuci usia di antara laut dan langit yang terpaut/. Sebab tanpa kesucian jiwa, tanpa kesabaran dan keteguhan hati untuk berbagi, berdakwah dalam kebenaran, maka hakikat “kesucian” itu masih belum sempurna. Maka, jangan lupa untuk bersuci, semakin usia itu bertambah, seharusnya jiwa harus semakin bersih.

Ada banyak tempat untuk membersihkan diri. Di antara langit dan bumi, adalah tempat yang pas untuk bersuci. Namun, yang sebaik-baik tempat adalah lingkungan yang akan membawa diri pada sari kebenaran. Hamparan bumi yang menumbuhkan benih kebaikan, dan lengkungan langit yang memberi selimut takwa. Maka, di mana pun bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Damai untuk menempa diri menjadi lebih bijak.

/tinggalkan maut dan kemelut/ Mati dan persoalan hidup adalah sebuah keniscayaan. Mati pasti menemui kita. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang lepas dari janji ketiadaan. Pada saatnya, pada waktunya, setiap manusia akan menemui ajal. Allah berfirman, “Kullu nafsin dzaiqatul maut,” (Setiap yang bernapas akan menemui kematian).

Maka untuk apa dirisaukan? Maka seharusnya kita harus bersiap dan berjaga-jaga untuk menghadapi mati. Karena di akhirat nanti yang akan membantu kita hanyalah amal kebaikan saat kita hidup di dunia. Mati tidak perlu ditakuti. Tinggalkan saja ia menemui kita, selagi kita dalam kewaspadaan, kematian adalah hamparan kesenangan.

Begitu pula dengan persoalan hidup (kemelut?). Kita tidak perlu berkecil hati dalam menghadapinya. Karena problematika kehidupan akan membawa kita pada keteguhan jiwa. Nurani yang siap “berperang” melawan persoalan-persoalan yang akan kita hadapi.

Harapan seorang ibu hanyalah kemaslahatan dan kebahagiaan dari buah hatinya. Tidak lebih. Ya, tidak lebih dari itu. Maka, /pulanglah membawa rindu/, yaitu kerinduan yang membahagiakan, bukan kerinduan yang membawa kabar duka. Luka dan nestapa harus telah ditanggalkan untuk berganti dengan kesempurnaan jumpa.

Masih sebagai harapan dari CINTA ibu, sebagai doa yang selalu dipanjatkan setiap waktu, agar anaknya pulang membawa berkah. Ilmu yang bermanfaat. Membawa kebajikan untuk disemai bersama, sebagai ungkapan, “/beserta matahari di kepalamu/.” Sinar harapan untuk membangun kampung halaman. Cahaya pengetahuan untuk menyinari dunia kegelapan (kebodohan).

/di sini aku tugur membeku/. Ibu menunggu dengan CINTA. Menunggu bersama RINDU. Menunggu dengan kesabaran, doa, dan kesetiaan. Tanpa batas, terus mengalunkan harapan-harapan, dan menunaikan janji suci untuk tetap mendampingi hingga akhir nanti. Tugur, tetap ada untuk si buah hati, hingga ajal merampas segalanya (membeku). Sebuah kesetiaan kasih yang tidak akan pernah pupus dimakan waktu.

Itulah ibu, yang kata D Zawawi Imron adaah “bidadari yang berselendang bianglala.” Kasih dan cintanya tidak akan pernah pupus hingga akhir usia. Seorang pujangga mengatakan, “Ibu, di dermaga asa ini, aku merindu dengan segenap rindu. Aku menyinta dengan doa-doa!

***

MUNAJAT CINTA IBU

Getar jiwa di palung senjamu
menaut laskar CINTA, sebait 
senyum mengulur derai gelak 
pada reranting tawa, surga membalut pelangi

Ibu, lelahmu mahligai kasih
di relung dada samudra
jelma sabda ratu pandeta, suluh
irama muzaik, mengurai seribu purnama

Hatimu, langit berhias gemintang
tiada resah, gerai sejuta warna
tentang nakalku, air mata darah
siluet mendung, di desah alpa

Engkau
Ibu menyuluh kesiap biruku 
tentang hitam, kelabu, menyaru
sesalku abadi, di relung cintamu

Ibu
Munajat doa sewajah purnama!

Madura, 01042016
Wallahu A’lam bis Shawab!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan