“Ilmu Hisab (Sullam al-Nayyirain) ini perlu dipelihara dan terus diamalkan agar tidak terlupakan”—KH Muhammad Yahya.
Dalam kehidupan pondok pesantren, pengetahuan tidak berdiri sendiri sebagai kumpulan konsep rasional. Ia tumbuh bersama nilai, disiplin, dan tradisi yang membentuk karakter santri. Pola pikir, cara bergaul, hingga disiplin waktu menjadi bagian dari proses internalisasi nilai yang istikamah. Dari sinilah saya memahami bahwa ilmu di pesantren tumbuh dari pengalaman hidup bersama, dimulai dengan keteraturan beribadah, ketekunan mengaji, hingga disiplin logis yang berakar pada spiritualitas.

Pengajaran ilmu hisab di Pondok Gading menjadi salah satu gambaran jelas dari tradisi tersebut. Di dalam konteks pendidikan Islam akhir-akhir ini, menurut hemat saya, ruang untuk mempelajari ilmu falak dan hisab semakin sedikit. Dalam arti lain, pesantren sudah jarang mengkaji ilmu ini lantaran banyak lembaga pendidikan cenderung memusatkan perhatian pada pengkajian yang dianggap lebih praktis dan segera berguna bagi kebutuhan pendidikan modern seperti nahu dan fikih. Maka, fokus kurikulum sering bergerak ke arah keterampilan umum, sehingga bidang kajian klasik seperti hisab semacam ini yang memerlukan ketekunan dan pemahaman mendalam perlahan tersisih dari prioritas pengajaran.
Perubahan orientasi ini pula membuat kesinambungan ilmu hisab bergantung pada pesantren yang masih menjaga jalur transmisi keilmuan secara serius. Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading Malang, Jawa Timur, menjadi salah satu pesantren yang eksis mempertahankan ilmu hisab dalam kurikulum pendidikannya. Dalam hal ini, ilmu hisab dan falak yang diajarkan mengacu pada kitab Sullamun Nayyirain karya Syekh Muhammad Manshur al-Batawi.
Kitab tersebut menjadi sumber utama yang dipelajari di tingkat Ulya, khususnya kelas 3 Ulya Madrasah Diniyah dan menjadi pedoman bagi para santri dalam menghitung posisi hilal, arah kiblat, serta penentuan waktu ibadah.
Menarik untuk dikaji bagaimana tradisi keilmuan hisab di Pondok Gading menjadi warisan khas intelektual yang hidup, sehingga ketetapan hasil hisab pondok menjadi rujukan bersama yang memperlihatkan betapa dalamnya pengaruh pesantren dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Gading.
Homologi Warisan Ilmu yang Autentik
Tradisi pengajaran hisab di Pondok Gading diwariskan dari generasi ke generasi. Sejak masa KH Yahya, pengasuh generasi ketiga pondok yang juga mursyid Thariqah Qodiriyah wa Naqsabandiyah hingga KH Shohibul Kahfi, ilmu hisab tidak hanya diajarkan sebagai disiplin rasional, melainkan juga diamalkan sebagai bagian dari laku spiritual santri. Keberlanjutan ini menggambarkan apa yang oleh Zamakhsyari Dhofier sebut sebagai genealogi intelektual pesantren, yakni rantai keilmuan yang menghubungkan para kiai dan pesantren dalam lintas generasi.
Ihwal ilmu hisab Pondok Gading, sanad keilmuan hisab atau falak KH Yahya bersambung pada KH Moh. Dahlan dari Pesantren Jampes Kediri. Kesinambungan tersebut, sebagaimana disampaikan oleh KH Baidhowi Muslih, menjadi bukti bahwa pengajaran hisab di Pondok Gading menjadi wujud tanggung jawab moral merawat autentikasi dan spiritualitas warisan intelektual pesantren.
Sebagai santri tingkat akhir, saya merasakan langsung betapa bernasnya nilai keilmuan yang diwariskan melalui tradisi hisab di Pondok Gading. Tentu, proses belajar ini menuntut ketekunan dan ketelitian tinggi, karena setiap langkah perhitungan harus selaras dengan kaidah ilmu hisab yang diajarkan kiai maupun ustaz. Sebagian santri yang memiliki ketertarikan mendalam kemudian bergabung dalam tim hisab sebagai ruang penerapan praktis dari pengetahuan yang telah mereka pelajari.
Setiap hasil perhitungan yang diperoleh tim diserahkan kepada KH Ahmad Arif Yahya selaku pengasuh pondok untuk mendapatkan pengesahan. Prosedur ini memperlihatkan bahwa ilmu hisab beroperasi dalam dua ranah, yakni rasionalitas ilmiah dan otoritas keagamaan. Dari sini, perhitungan astronomis bertemu dengan legitimasi moral sekaligus spiritual sehingga menciptakan keselarasan antara ilmu dengan adab.
Dalam beberapa kesempatan, memang hasil perhitungan pondok berbeda dengan keputusan pemerintah mengenai awal Ramadan atau Idul Fitri. Namun, masyarakat sekitar pondok, para tokoh, hingga kiai di Malang menerima perbedaan tersebut dengan sikap hormat, sebab bagi mereka keputusan pondok mencerminkan keyakinan serta keilmuan para kiai.
Dari pengalaman ini, saya memahami bahwa substansi ilmu hisab di Pondok Gading tidak berhenti pada penetapan waktu ibadah semata. Inti dari praktik ini terletak pada pengamalan pengetahuan sebagai bentuk tanggung jawab santri dengan menjalankan ilmu yang dipelajari.
Sehubungan dengan hal tersebut, KH Baidhowi Muslih menjelaskan bahwa kewenangan untuk menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah memang berada di tangan qadhi (Menteri Agama). Meski demikian, dalam khazanah fikih terdapat pandangan yang memperbolehkan bahkan mewajibkan bagi para ahli hisab atau falak untuk mengamalkan ilmu yang mereka miliki.
Dalam kerangka ini, Pondok Gading sebetulnya tidak melakukan itsbat awal bulan, melainkan sebatas menjalankan hasil istikhraj, yakni penerapan ilmiah dari perhitungan yang dilakukan. Dengan cara ini, pondok tetap menjaga posisi keilmuannya tanpa melampaui otoritas pemerintah, sekaligus mempertahankan tanggung jawab moral dalam mengamalkan pengetahuan falak dan hisab sebagai warisan intelektual Islam.
Prinsip Hisab
Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading menggunakan metode hisab berdasarkan kitab Sullam Nayyirain dalam menentukan awal bulan kamariah. Metode ini termasuk kategori hisab haqiqi taqribi, yakni perhitungan astronomis yang bersifat mendekati hasil pengamatan nyata.
Di dalam penerapannya, metode ini memperlihatkan aspek visibilitas hilal atau imkanurrukyat, yaitu batas minimal hilal dapat dilihat. Ketinggian (irtifa’) hilal yang dijadikan acuan berkisar antara satu setengah hingga dua derajat di atas ufuk. Meskipun tergolong rendah, kriteria ini dipertahankan karena mencerminkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan waktu ibadah.
Di dalam praktiknya, Pondok Gading membedakan kriteria antara penetapan awal Ramadan dan awal Syawal. Untuk awal Ramadan, batas minimal visibilitas hilal ditetapkan sebesar satu setengah derajat sebagai bentuk ikhtiyath atau kehati-hatian agar pelaksaan puasa dimulai dengan keyakinan yang mantap. Jika hasil istikhraj menunjukkan ketinggian hilal mencapai satu setengah derajat atau lebih, maka malam harinya dianggap sudah masuk bulan Ramadan. Sebaliknya, apabila ketinggian hilal kurang dari itu, bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga puluh hari.
Adapun dalam menentukan awal Syawal, Pondok Gading menetapkan batas minimal visibilitas hilal sebesar dua derajat. Apabila perhitungan menunjukkan ketinggian hilal mencapai dua derajat atau lebih, malam harinya ditetapkan sebagai awal Syawal, sedangkan bila kurang dari dua derajat, bulan Ramadan disempurnakan menjadi tiga puluh hari.
Pemeliharaan Tradisi Falak Pesantren
Semasa kelas 3 Ulya, saya mempelajari hisab melalui Risalah Sullam Nayyirain yang disusun kembali oleh KH Baidhowi sebagai diktat resmi pembelajaran. Kitab tersebut tidak hanya memuat jadwal hisab, rumus, dan tabel perhitungan, tetapi juga dilengkapi oleh uraian ringkas yang membantu santri dalam memahami dasar falak/hisab secara bertahap.
Diktat yang ditulis pada tahun 1997 itu awalnya disusun sebagai tanggapan atas ajakan Menteri Agama pada pembukaan Musyawarah Hisab dan Rukyat Direktoral Peradilan Agama di Jakarta, 9 Maret 1977 yang mendorong penyebarluasan ilmu hisab di tengah masyarakat muslim. Penjelasan mengenai latar penyusunan ini tercantum dalam muqaddimah ‘Sullam Nayyirain’, sehingga pembelajaran di kelas tidak hanya mengenalkan aspek teknis, tetapi juga konteks historis dan motivasi keilmuan di balik penyusunan diktat tersebut.


Gambar.1 Kitab Hisab Sullam Nayyirain yang dipelajari di Pondok Gading dari susunan KH. Baidhowi Muslih
Kitab ini memuat uraian dasar mengenai konsep-konsep pokok dalam ilmu hisab serta tahapan perhitungan hisab qamariyah. Di dalamnya dijelaskan berbagai istilah teknis seperti ta’rif ‘allamah, hissah, khossoh, markaz, dan auj. Pembahasan kemudian berlanjut pada aspek-aspek gerak harian dan tahunan, termasuk harokah fissinīn al-majmū‘ah wal-mabsūthah, ta‘dīlul khossoh, ta‘dīlul markaz, serta indikator penting seperti ‘allāmah ijtimā‘, hai’ah hilāl, dan irtifā‘ hilāl. Selain itu, terdapat uraian mengenai ikhtilāf ṭūlul balad, langkah-langkah perumusan perhitungan, teknik memasukkan bilangan bulan yang ingin dihisab, penentuan sinar dan keadaan, konversi kalender Masehi, hingga penyajian tabel-tabel pendukung yang menjadi dasar konstruksi perhitungan hisab.
Dalam proses pembelajarannya, meskipun materi hisab menurut saya, bahkan teman-teman santri, kerap menganggap sulit dan penuh kerumitan, penyampaian materi menjadi lebih mudah dipahami berkat bimbingan Ustaz Chasib Idris—pengampu hisab sekaligus pendamping tim hisab. Latar belakang akademiknya sebagai lulusan matematika membuat penjelasan yang diberikan selalu runtut dan jelas. Setiap pekan beliau mengarahkan kami mempelajari bagian-bagian hisab secara bertahap, mulai dari pengenalan istilah dasar sebagaimana penjelasan di atas, latihan perhitungan, hingga praktik menentukan derajat awal bulan. Seluruh rangkaian materi tersebut ditempuh selama satu tahun penuh pada jenjang 3 Ulya. Dari pekan ke pekan, para santri mempraktikkan apa yang telah dipelajari, menelusuri tabel demi tabel, lalu beranjak pada perhitungan yang lebih kompleks sesuai perkembangan pemahaman kami.

Gambar 2. Tabel Rumusan Hisab Gading
Pada dasarnya, orientasi pembelajaran hisab di Pondok Gading bertumpu pada kegiatan rutin menghitung awal bulan Hijriah selama satu tahun penuh. Rutinitas tersebut biasanya dilakukan setelah Syawal dalam forum khusus yang melibatkan tim hisab yang beranggotakan 10 santri, termasuk saya, para pendamping dari asatiz, serta penasihat dari gawagis.
Suatu ketika saya berkesempatan bergabung dalam tim tersebut. Dalam salah satu pertemuan, tim hisab Gading melakukan audiensi dengan santri Pondok Mafatihul Huda Al-Ihsani, cabang Jampes, yang memiliki hubungan sanad keilmuan searah dengan Pondok Gading. Pertemuan tersebut menjadi ruang diskusi untuk memperdalam kajian hisab dan bertukar perspektif. Dari audiensi ini terlihat adanya perbedaan fokus, yakni Pondok Mafatih memasukkan kajian perhitungan gerhana sebagai bagian dari kurikulum hisab, sedangkan Pondok Gading tetap memusatkan pada kajian penetapan awal bulan Hijriah.

Gambar.3 Audiensi Tim Hisab Gading dengan Cabang Jampes
Pengalaman mempelajari hisab di Pondok Gading menunjukkan bahwa ilmu falak tidak sekadar menjadi keterampilan teknis, ada proses pembentukan pikiran dengan fokus penetapan awal bulan kamariah. Praktik ini menjadi bagian penting dari khazanah keilmuan sekaligus identitas pesantren.
Pembelajaran hisab bukan hanya memberikan kecakapan astronomis dasar, melainkan juga menumbuhkan kesadaran tentang bagaimana sebuah tradisi dijaga dan dimaknai dalam kehidupan santri. Maka, ilmu hisab menjadi medium untuk memahami cara pesantren mengelola pengetahuan, menjaga kesinambungannya, dan menempatkannya dalam kerangka religius dan kultural.
