Boleh jadi sampean telah tahu bahwa Imam Malik (semoga Gusti Allah Ta’ala senantiasa mencurahkan rahmat padanya) adalah seorang ulama yang kharismatik—penuh wibawa. Namun demikian, tahukah sampean, sekali waktu, Imam Syafi’i—santri kesayangannya—, pernah membuat Imam Malik ngguyu geget dengan begitu sentosa? Lantas apa gerangan yang menjadikan mereka larut dalam tawa?
Diceritakan bahwa kepada gurunya itu, Imam Syafi’i (semoga Gusti Allah Ta’ala senantiasa mencurahkan rahmat padanya) bercerita. Belum lama ini, ia mengalami kejadian yang berkaitan dengan ilmu yang sedang ia dalami, bahkan coba ia amalkan: ilmu Firasat. Pada zaman itu, ilmu Firasat adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang cara mengetahui kepribadian seseorang dengan cara melihat garis wajahnya.
Dalam suatu perjalanan ke Yaman—karena hari menjelang malam—, Imam Syafi’i butuh suatu tempat untuk istirahat. Tak jauh di depan tampak sebuah rumah dengan seseorang sedang jagongan di halamannya. Imam Syafi’i pun memacu kudanya, mendekati rumah itu.
Sesampainya, Imam Syafi’i mendapati garis di wajah lelaki itu menyiratkan karakter orang yang tak baik. Kendati demikian, berseberangan dengan dugaannya, orang itu justru bersikap baik padanya. Imam Syafi’i pun coba menepis dugaannya; meyakinkan diri bahwa orang itu adalah orang baik.
Saat ia bertanya, bolehkah ia bermalam di rumah ini, si pemilik rumah menjawab mantap, “Ya!”
Malam harinya, Imam Syafi’i kian meragukan ilmu tersebut. Karena, selain telah mengijinkannya menginap di rumahnya, orang itu memperlakukannya dengan sangat baik: menyuguhinya makanan yang lezat, kemudian menyiapkan tempat tidur—lengkap dengan kasur dan selimut, memberikan wewangian ruangan, bahkan orang itu pun mengurus kudanya dengan cara menyediakan rumput.
Pagi harinya, Imam Syafi’i berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Setelah segalanya siap, kepada orang itu, Imam Syafi’i memberitahu alamat rumahnya. Lalu menyatakan bahwa apabila ia pergi ke Mekkah, mampirlah ke rumahnya untuk membalas semua kebaikan ini.
Tak dinyana, dengan nada sewot orang itu menanggapi, “Enak saja, memangnya aku pelayan ayah sampean?!”
Agak bingung Imam Syafi’i menanyakan apa maksudnya.
Kemudian orang itu menyebutkan sejumlah uang yang harus dibayar oleh Imam Syafi’i, dengan rincian: sekian untuk membeli makanan, sekian untuk pewangi ruangan, sekian untuk rumput, sekian untuk sewa kasur dan selimut.
Kendati rada terkejut, Imam Syafi’i tersenyum—menyadari orang itu berbuat baik padanya, ternyata ada maunya. Kemudian Imam Syafi’i mengeluarkan kantung uang, membayarnya.
Sebagai orang yang pengasih, sebelum pergi Imam Syafi’i bertanya, apakah ada yang perlu dibayar lagi olehnya.
“Ya,” jawab orang itu masih dengan nada sewot. Lalu ia meminta pada Imam Syafi’i untuk membayar sewa rumah; karena ia telah membuat istirahatnya nyaman, sementara—demi Imam Syafi’i—ia rela tidur di tempat yang tak nyaman.
Bahkan, setelah Imam Syafi’i memberikan sejumlah uang untuk sewa rumah, lagi-lagi ia bertanya sebagaimana pertanyaan tadi.
“Tidak,” jawabnya, “pergilah…”
Dengan perasaan gembira, Imam Syafi’i beranjak dari rumah itu—karena ilmu yang sempat ia ragukan tersebut, ternyata berguna.