Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin. Diterimakan kepada seorang manusia yang paling mulia dan dimuliakan membuat sesuatu yang dibawa olehnya menjadi turut mulia dan digadang-gadang sebaga sirajul munir (lampu yang menerangi). Mengingat, Islam datang tepat pada abad kekosongan utusan Tuhan setelah diangkatnya Nabiyullah Isa AS. Empat belas abad silam, Islam memulai peradabannya di tanah Hijaz Arab, yang tentunya pada saat itu Islam di bawah kepemimpinan langsung sang utusan, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Sebagai manusia, Nabi Muhammad SAW tak selamanya ada untuk mengawal peradaban Islam. Hanya 23 tahun Nabi Muhammad membersamai Islam dalam membangun peradaban,dan mengkader manusia-manusia berkualitas yang disiapkan sebagai pengganti sepeninggal Nabi Muhammad kelak, di dua kota Haram, yaitu Mekkah (13 tahun) dan Madinah (10 tahun).
Berbagai macam hal dipersiapkan dan dilakukan Nabi Muhammad untuk membangun peradaban Islam yang kuat, tangguh, dan rahmatan lil ‘alamin. Ilmu pengetahuan, akhlak mulia, strategi ekonomi bahkan sistem politik pemerintahan sudah dicontohkan oleh Nabi, dengan berlandaskan Al-Qur’an sebagai pedoman utama.
Sepeninggal Nabi, Khulafaur Rasyidin mengemban amanat dari umat sebagai pemimpin peradaban Islam penerus Nabi Muhammad. Perkembangan peradaban Islam semakin menunjukkan progres positifnya. Ekspansi wilayah dan konstruksi ekonomi terus mengalami perkembangan secara masif. Selama kurang lebih tiga dekade, Khulafaur Rasyidin memimpin umat dan diakhiri dengan serangkaian pemberontakan pada akhir kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib yang sudah tidak dapat dibendung mengakibatkan runtuhnya era Khulafaur Rasyidin dan berganti menjadi era kedinastian.
Dinasti dalam perkembangan peradaban Islam sudah tidak dapat diragukan lagi sumbangsihnya. Dimulai dari dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus (Syiria) yang memegang kendali peradaban Islam selama satu abad (661–750 M) dan diakhiri oleh dinasti Turki Usmani yang telah berkuasa selama enam abad (1281-1924 M) di daratan Eropa Tenggara.
Selama tiga belas abad peradaban Islam berada pada kekuasaan dinasti. Dalam masa belasan abad itu lebih dari sepuluh dinasti silih-berganti dalam memegang kendali. Era dinasti merupakan era kejayaan dalam perjalanan peradaban Islam, bahkan pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyyah perkembangan dalam segala bidang sangatlah pesat. Ilmu pengetahuan, ekonomi, dan politik semua di bawah kendali peradaban Islam. Dan itu membuat Eropa Barat harus mengakui keunggulan peradaban Islam.
Sayangnya, ibarat terlalu larut dalam manisnya madu, peradaban Islam mengalami dekadensi di era dinasti setelah Abbasiyyah. Beberapa dinasti tidak mampu mempertahankan keunggulan, baik faktir dari dalam maupun luar menyelimuti perjalanan dinasti-dinasti setelah Abbasiyyah. Keunggulan historis membuat umat muslim jumawa tanpa mampu mengambil ibrah dari cerita sejarah, seolah keunggulan sejarah hanya patut dikenang tanpa harus diulang.
Inilah yang merupakan titik awal dekadensi peradaban Islam dimulai. Di satu sisi, kaum muslim terlarut dalam manisnya historis.Pada sisi lain, Eropa Barat memulai perjalanan peradaban dan mengalami revivalisme yang masif. Reinasans (abad 14-17 M), Aufklarung (abad 17-18 M), dan Revolusi Prancis (abad 17 M) merupakan fenomena yang menjadi pintu gerbang kemajuan peradaban Eropa Barat. Perlahan tapi pasti, Eropa Barat mulai memangkas jarak dan mengejar ketertinggalannya dan membuat keunggulan historis Islam mulai terkejar bahkan tertinggal.
Pada era modern ini, peradaban Islam sudah tinggal kenangan indah dan hanya bisa dikenang tanpa bisa diulang, dan kaum muslim dipaksa mengakui keunggulan peradaban Eropa yang notabene non-muslim, yang berkembang sangat pesat dalam banyak aspek kehidupan bahkan semuannya.
Pada zaman modern ini, negara-negara non-muslim berperan sebagai produsen dan berkontribusi besar, sedangkan negara-negara muslim hanya berperan sebagai konsumen mangsa pasar global. Bahkan, sesuatu yang lebih menyakitkan adalah negara-negara non-muslim berhasil “merampok” nilai-nilai yang dalam Islam yang ditekankan oleh Al-Qur’an dan hadis. Padahal, muslim pemilik teori tapi mengapa non-muslim yang mampu mengimplementasi.
Sial bagi muslim, negara Finlandia berhasil “merampas” prinsip yang sudah tidak asing di telinga kaum muslim dan seringkali ditulis dalam bentuk poster dan ditempel di banyak tempat yang berbunyi:
“ النَّظَافَةُ مِنَ الْإيْمَانِ “
Artinya: “kebersihan merupakan sebagian dari keimanan”.
Dan dengannya Finlandia menyandang predikat negara terbersih di dunia. Sedangkan, kaum muslim masih sibuk membahas apakah hadis itu sahih atau bukan. Sial bagi muslim, negara Jepang dan Swiss berhasil mengimplementasikan prinsip yang tercantum pada kitab suci kaum muslim, yaitu Q.S Al-Ahzab,70 yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar”.
Dan dengannya negara Jepang dan Swiss menjadi negara dengan tingkat kejujuran tertinggi di dunia. Seharusnya kaum muslim harus bisa meniru kejujuran orang Jepang, tidak hanya mengidolakan cosplayer, waifu, dan animenya yang keren.
Islam yang (katanya) rahmatan lil ‘alamin telah mengalami dekadensi peradaban yang pelik. Kejayaan masa silam yang sempurna sudah dikuasai oleh peradaban Eropa. Selain kemajuan peradaban, sesuai dengan pernyataan tersebut, beberapa negara Eropa berhasil menerapkan prinsip keislaman. Makanya, tidaklah salah ketika ada ungkapan: “Di Eropa tidak nampak muslim, tapi ada Islam. Dan di Asia terlihat muslim, namun tidak dengan Islamnya.”
Ungkapan tersebut merupakan sebuah pukulan uppercut yang sangat telak. Kejujuran, kebersihan, kedamaian, bahkan kepekaan sosial yang didengungkan oleh Al-Qur’an dan hadis, banyak ditemukan dan diterapkan di negara yang notabene negara non-muslim. Sedangkan, negara muslim hanya pemilik teori, namun minus dalam implementasi. Bahkan cenderung melanggar beberapa hal yang telah ditetapkan dalam kitab suci mereka. Perang saudara, korupsi beserta nepotisme, kesenjangan sosial, dekadensi moral, dan banyak lagi permasalahan yang ditemukan di mayoritas dari negara muslim yang berjumlah 44 negara.
Islam yang (katanya) rahmatan lil ‘alamin, dan secara eksplisit di Al-Qur’an disebut sebagai “كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ”, tentu tidak cukup hanya beriman kepada Allah semata tanpa mengamalkan apa yang diperintahkan. Mengaku cinta namun enggan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Bahkan cenderung melanggar dan bukan hal yang sesuai dengan prisip keislaman.
Opininya keren 😎