Bibit-bibit Islamofobia kian tumbuh subur. Narasi Islamofobia semakin popular digunakan dan diungkapkan belakangan ini. Nyatanya, ketetapan Dewan Majelis Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tempo lalu (15/03/2022) dalam menetapkan hari internasional memerangi Islamofobia tidak memiilki imbas yang berarti dalam keberagamaan kita.
Fenomena kekerasan radikal-ekstremis yang memampang dalih keagamaan (Islam) di belakangnya berhasil menumbuhkan bibit-bibit Islamofobia. Di dunia Barat, seperti Amerika Serikat (AS) dan Prancis (Eropa), ekspresi berislam, baik dalam ritual peribadatan atau dalam hal penampilan berbusana menjadi ketakutan tersendiri bagi bangsa non-muslim. Kini, ketakutan itu juga sudah menjangkiti kalangan umat Islam sendiri. Alih-alih ada usaha preventif untuk mengembalikan kehujjahan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, umat Islam membangun Islamofobia dalam agamanya sendiri.
Bagaimana tidak, Islamofobia yang dahulunya adalah kebencian orang non-muslim kepada umat Muslim, sekarang hal itu terjadi di antara umat Islam itu sendiri. Dari kasus penolakan terhadap Ustaz Abudus Somad (UAS) untuk memasuki Singapura pada bulan yang lalu (16/05/2022), kita menyaksikan bagaimana tuduhan Islamofobia terlontar dari orang-orang Islam, utamanya orang yang fanatik terhadap UAS.
Hal ini menegaskan bahwa narasi Islamofobia yang awalnya tumbuh dari nalar kekerasan kelompok Islam yang menyimpang, membentuk bibit kebencian orang di luarnya, hingga pada gilirannya bertransformasi secara besar-besaran menjadi budaya kebencian, bahkan dalam tubuh umat Islam sendiri. Islamofobia, jika diibaratkan sebagai suatu penyakit, sudah dalam taraf akut untuk disembuhkan karena menjalari setiap sendi keislaman, terlebih umat Muslim.
Pendekatan solutif yang saat ini ditawarkan pun patut disangsikan melihat bibit Islamofobia ikut menjangkiti Islam dari dalam, baik itu pendekatan individual (psikis), pendekatan kognitif (diskusi), atau pendekatan diplomatik (kerja sama). Kebutuhan konsep perbaikan (restorative system) pun kian mendesak. Karena hal ini berkenaan langsung dengan bagaimana fitrah Islam itu dipahami sebagai agama yang komprehensif dan humanis, dan hal itu tidak bisa dirusak dengan perilaku kelompok tertentu dalam tubuh Islam.
Oleh sebab demikian, sebelum usaha memerangi Islamofobia yang saat ini semakin marak dikampanyekan di ruang-ruang publik, ada usaha mendasar yang harus dilakukan sebagai perbaikan dari dalam, yakni nalar kekerasan (radikal-ekstremis) yang diabsahkan dengan dalil-dalil keagamaan. Jika ditilik, muaranya adalah bagaimana wajah Islam di Barat itu menampakkan sisi kekerasannya dalam hal metode pendakwahan dan hubungannya dengan agama yang lain.
Sehingga yang menjadi persoalan bukan menumpas Islamofobia karena membatalkan suatu ekspresi hak kemanusiaan, melainkan fanatisme beragama kelompok tertentu yang berhasil membentuk suatu narasi dan gerakan Islamofobia di satu sisi, sekaligus menjelaskan bagaimana konsep beragama umat Islam yang penuh dengan kekerasan dan jauh dari nilai kemanusiaan di sisi yang lainnya. Maka, perbincangan ulang ihwal konsep berislam yang mendasar dan fitrah perlu diinterpretasi secara berulang-ulang,
Berislam dengan Fitrah
Diturunkannya Islam adalah bentuk kecintaan Tuhan terhadap manusia. Tidak ada unsur kekerasan sama sekali dalam Islam, baik secara konsep syariat, metode dakwah, dan dasar ijtihad. Hal itu jelas diabadikan bagaimana ketika terutusnya Rasulullah tidak lain adalah ihwal kemanusiaan (Innama bu’itstu li utammima makarimal al-akhlaq). Juga, dalam Al-Quran Surah al-Anbiyaa ayat 107, dikatakan maqashid Islam tidak akan pernah terwujud kecuali membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Jadi, jika boleh dikata, Islam sangat humanis dan jauh dari nalar kekerasan.
Akan tetapi, dalil dasar Islam itu saling berkelindan dengan konsep-konsep keislaman yang lain. Bahkan, terdapat teka-teki misteri yang Allah sendiri enggan menjelaskan dengan gamblag dari ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran (ayat mutasyabbihat). Kemudian, Tuhan sendiri memasrahkan otoritas pemaknannya kepada Rasulullah Saw (hadis), yang pada gilirannya juga otoritas itu diwariskan kepada orang yang ‘alim dan ‘allamah setelah wafatnya Nabi sehingga lahir pedoman berislam lainnya, seperti, ijma’ dan qiyas (Said Agil al-Munawar, 2022).
Otoritas penafsiran itu, baik tafsir maupun takwil terhadap teks keagmaan (Syekh Nuqaib al-Attas), yang kemudian banyak melahirkan pertentangan-pertentangan karena jika digambarkan, banyak kepala banyak pikiran. Alasan dapat dijustifikasi ketika semua orang, tanpa terkecuali, melakukan penafsiran secara terbuka dan leluasa, bahkan tanpa melalui tinjauan kelayakan syariat. Akibatnya, Islam tampil dengan wajah yang beragam, tidak terkeculi nalar kekerasan tadi.
Di sinilah wacana berislam yang dinamis dibutuhkan. Beragama yang moderat baik secara paham dan pergerakan. Artinya, tidak kaku dengan teks-teks dan terus dinamis dengan konteks. Islam harus dipandang sebagai agama yang komprehensif, humanistik, dan holistik. Kekerasan hanya akan mereduksi nilai-nilai Islam itu sendiri sebagai agama yang fitrah.
Demikian halnya Islamofobia, ia adalah metamorfosa dari nalar berislam yang tertutup sehingga melegalkan daih agama sebagai dasarnya. Ini menjadi pelajaran, kekerasan dalam mendakwahkan Islam hanya mengakibatkan Islam terasing dari dinamika kehidupan.
Pada akhirnya, Islam tidak menemukan ruang berekspresi karena wajah Islam yang tampak ke permukaan hanya kekerasan. Maka, perbaikan itu harus dimulai dari tubuh Islam sendiri untuk memberikan kondisi yang ketat (syar’i) bagi siapa saja yang melakukan ijtihad dan dakwah yang memang sejalan dengan semangat kemanusiaan.