Semakin ke sini, lini media maupun dunia nyata semakin berisik dengan perbedaan pilihan politik. Hal itu membuat saya tertarik untuk mengulik. Hal yang membuat saya tergelitik adalah ketika ada orang yang memiliki kapasitas ilmu mumpuni, bisa membedakan mana yang baik dan benar dengan ilmunya, tapi sayangnya ketika momen pesta demokrasi ini malah sekadar “nderek dawuh kiai“.
Sebenarnya tidak masalah ketika pilihan politiknya sekadar nderek dawuh. Itu hak. Yang menjadi masalah adalah sikap politiknya yang hanya pasrah bongkoan, bahkan mendekati taklid buta, itu digaungkan ke masyarakat umum. Lebih-lebih dijadikan jargon kampanye; “Pilih ini karena nderek dawuhe Mbah Kiai“, misalnya. Cara itu bukannya sama saja ‘menjual” dawuh kiai demi kepentingan politisi? Padahal, kiai sendiri ketika ngaji mengajari santrinya untuk tidak hubbul jah/cinta pangkat. Eh, santrinya malah memolitisasi dawuh kiai.
Saya tegaskan, berpolitik dengan nderek dawuh atau sam’an wathoatana itu tidak berdosa. Namun sikap politik yang demikian itu baiknya bagi orang awam saja, yang memang tidak tahu menahu tentang calon pilihannya. Silakan kalau mau nderek dawuh kiai, malah dianjurkan. Tapi jika santri bertahun-tahun mondok atau bahkan sudah menjadi mahasiswa tingkatan S2, politiknya sekadar nderek dawuh itu benar-benar patut dipertanyakan.
Maksudnya, buat apa belajar, dapat ilmu sedemikian tinggi, tapi masalah mendasar mengenai bernegara saja tidak bisa memikirkan sendiri? Hanya pasrah sama kiai. Lalu anugerah Allah berupa akal sehat itu buat apa? Afala tatafakkaruuuun.