Ya, kekocakan serta kecerdikan Abu Nawas—yang acap menerbitkan tawa campur kagum—, boleh jadi telah sering sampean baca. Sampean masih ingat, saat Abu Nawas berjalan dengan teman-temannya, kemudian begitu hujan turun, seketika itu juga Abu Nawas mlencing meninggalkan mereka untuk berteduh?
Ya, syukurlah sampean masih ingat: saat satu di antara mereka menegurnya, “Abu Nawas, kenapa kau menghindari hujan, bukankah hujan adalah rahmat?”
“Mending menghindar, daripada menginjak-injak rahmat?” jawabnya.
Namun demikian, tahukah sampean, bahkan di akhir hayatnya Abu Nawas masih sempat beramal jariyah dengan guyonan-nya? Apa, sampean belum tahu? Kalau begitu, baiklah, akan saya ceritakan—khususon buat sampean…
Diceritakan, menjelang ajal, Abu Nawas—yang hampir selalu tampak ceria—memamerkan wajah susah di antara sanak keluarga yang menungguinya. Bukan karena takut mati, melainkan—menurutnya—kematian bakal menghentikan amalnya: membuat lelucon; memecahkan tawa bagi sesama. Kendati demikian, selera humornya tak kunjung sirna.
Maka ia berwasiat kepada mereka: selain minta dikafani dengan kain kafan bodol (lama, bukan baru)—dengan tujuan mengecoh malaikat Munkar-Nakir yang bakal mengiranya sebagai mayat yang telah lama mati sehingga terhindar dari pertanyaan mereka—, ia minta dibuatkan gembok yang lebih besar daripada pintu bangunan makamnya.
Kendati bingung—tak tahu tujuan Abu Nawas meminta hal seperti itu—mereka mengiyakan. Kontan, kelak, siapa pun yang melihat kejanggalan gembok dan pintu tersebut dipastikan akan pecah tawanya.