Suatu hari dalam pembelajaran Manthiq yang diampu oleh KH A Warits Ilyas, tiba-tiba saya ditunjuk oleh beliau untuk berdiri dan membaca kitab. Saya pun gelagapan karena selain tidak siap, saya juga tidak bisa. Akhirnya saya berdiri di depan kelas. Terjadi pemikiran yang sembraut pada saat itu, mengapa saya kedapatan sial dan naas di hari itu. Apakah karena ulah saya yang kurang perhatian terhadap kewajiban belajar?
Bukan saja karena saya tidak bisa, lebih dari itu saya termasuk siswa yang kurang greget untuk masuk kelas. Entah karena apa, yang pasti hal itu tidak termasuk dalam perbuatan yang baik untuk dicontoh. Berdiri di dapan kelas telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Malu, cemas, dan merasa bersalah berkecamuk dalam pikiran saya saat itu. Dan saya harus merubah sikap yang tidak baik tersebut, agar ke depan menjadi lebih baik dan lebih rajin belajar.
Saat itu beliau menasehati semua siswa di kelas saya yang masih tetap saya ingat hingga sekarang lebih dari 30 tahun. Kiai Warits bisa saja menasihati semua teman kelas karena saya tidak bisa membaca kitab Manthiq yang diampu oleh Beliau. Atau bisa saja sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan wajengan kepada banyak siswa yang situasinya sama dengan saya. Atau, mungkin ada alasan Beliau lainnya yang entah.
Kiai A. Warits Ilyas berkata, “Santri itu tidak wajib bisa baca kitab. Sebab kalau wajib, maka berdosalah mereka yang tidak bisa. Tetapi santri wajib belajar. Soal menjadi pandai atau tidak itu urusan Allah.” Jadi kewajiban seorang santri adalah belajar. Karena kalau hanya bisa baca kitab, tetapi bacaan dari kitab tersebut tidak memberikan manfaat, maka hal tersebut akan sia-sia. Ikhtiar dengan cara belajar yang rajin adalah sebuah keharusan. Karena usaha adalah kewajiban sedangkan hasil akhir kita serahkan kepada Allah swt.
Lebih lanjut, Kiai Waris menjelaskan, “Santri tidak harus alim. Yang lebih penting, santri harus bisa bermanfaat bagi orang lain melalui kemampuan apapun yang dimilikinya.” Kepandaian atau kealiman itu adalah persoalan setelah kita berusaha belajar dengan tekun dan giat. Karena kealiman seseorang merupakan hak prerogatif Allah swt. Menjadi bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain adalah buah (manfaat) yang diinginkan bagi santri setelah melaksanakan ikhtiar belajar dengan sebaik-baiknya.
Nasihat menyejukkan itu begitu dalam melekat di hati saya. Awalnya saya memang sering tidak masuk kalau jadwal beliau. Sejak saat itu saya berusaha untuk rajin sekolah dan belajar. Nasihat yang begitu menyentuh, yang disampaikan dengan ikhlas dan santun, membuat saya terperangah dan sadar bahwa selama ini saya tidak memanfaatkan kesempatan untuk belajar dengan sebaik-baiknya.
Nasihat itu memang telah berlalu 30 tahun lebih. Akan tetapi, kalimat-kalimat sakral itu masih terus terngiang hingga tanpa batas waktu. Menyentuh lubuk hati yang paling dalam. Hingga saya pun merasakan kharisma dan marwah nasihat yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Semoga Beliau, KH A. Warits Ilyas, mendapatkan ampunan di sisi Allah swt. Aamiin ya Robb!
Wallahu A’lam bis-Showab!
Catatan: Sebagaimana dikisahkan oleh Subahri melalui Ustaz Latif Anwar.