Wak Tamak sibuk menghitung uangnya yang disimpan di dalam kantung hitam. Hampir tiap hari ia selalu menghitungnya, takut kalau jumlahnya berkurang. Uang dari hasil menjual tanah, menjual singkong, juga menjual ayam-ayamnya, semua disimpan dalam kantong hitam tersebut. Beberapa gepok uang yang jumlahnya bisa untuk membeli sawah dua hektare itu, tak pernah lepas dari tangan Wak Tamak, ke mana pun ia pergi.
Bahkan bila ke kamar mandi pun uang itu dibawanya juga. Kalau ia sedang tidur, Wak Tamak menaruhnya di bawah bantal. Itu pun ia sulit sekali untuk tidur dengan nyenyak. Sebab, pikirannya selalu cemas, takut kalau uang-uangnya raib digondol maling.
Wak Tamak memang memiliki banyak uang. Akan tetapi, ia sangat irit dalam membelanjakannya. Wak Tamak dikenal sebagai orang yang ’perhitungan’ bila berurusan dengan harta. Seperti namanya, ia gemar mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Namun, sangat pelit untuk mengeluarkannya meski untuk kebutuhan sehari-hari.
Pernah suatu kali, ada tetangga yang memetik daun singkong milik Wak Tamak tanpa sepengetahuannya. Begitu ia mengetahui, Wak Tamak langsung mencak-mencak menuduh tetangganya sedang mencuri. Namun, tetangganya tersebut berdalih, bahwa ia sudah izin dengan Mat Bejo—suaminya. Tapi tetap saja, semua harus atas izin Wak Tamak, bukan yang lainnya—meski dengan suaminya sendiri.
Pagi ini, Mat Bejo datang ke warung untuk mengeteng sebatang rokok. Sebenarnya semenjak Mat Bejo menikah dengan Wak Tamak, ia tidak diperbolehkan lagi untuk merokok oleh istrinya, karena itu hanya akan buang-buang duit. Meski begitu, sesekali Mat Bejo masih merokok, dan tentunya Wak Tamak tidak mengetahuinya.
Mat Bejo hanya membeli sebatang rokok saja—seperti biasanya. Namun, apesnya kali ini di saat yang bersamaan, Wak Tamak juga datang ke warung itu. Alhasil, Wak Tamak mengetahui bahwa suaminya membeli rokok.
“Ini rokoknya,” ucap pemilik warung sembari menyodorkan sebatang rokok keretek sesuai permintaan Mat Bejo.
Wak Tamak menatap sinis. Mat Bejo bergeming dengan perasaan waswas.
“Wak Tamak, mau beli apa?” sambut pemilik warung beralih ke Wak Tamak.
Wak Tamak mencoba menahan amarahnya. “Saya mau beli kangkung sama tempe aja, Neng,” balas Wak Tamak ketus.
“Kok setiap ke sini belinya itu-itu aja, Wak? Nggak bosen apa masak kangkung sama tempe terus? Memangnya uang jual tanah sudah habis?” tanya pemilik warung tanpa tedeng aling-aling sembari mengambilkan apa yang barusan diminta Wak Tamak.
“Nggak kok!” Wak Tamak mendengus kasar. ”Berapa semuanya?” lanjutnya.
“Kangkung tiga ribu, tempe dua ribu, jadinya lima ribu,” sebut pemilik warung, “Kalau ditambah sama rokok, jadinya tujuh ribu,” imbuhnya.
Mat Bejo semakin dilanda gelisah.
Usai menyerahkan uang tujuh ribu kepada pemilik warung, Wak Tamak langsung cepat-cepat pergi.
“Ya sudah, makasih ya, Neng. Ini rokoknya saya bawa. Permisi,” ucap Mat Bejo buru-buru pergi untuk menyusul istrinya pulang.
Sesampainya di rumah, Wak Tamak masih tampak kesal. Sedangkan Mat Bejo harus menyiapkan mental untuk menghadapi omelan istrinya itu.
“Heh, Pak, sudah dibilangin Bapak itu nggak boleh merokok! Lagian kita itu harus ngirit,” cerocos Wak Tamak memarahi suaminya yang sedari tadi sudah ditahannya.
Lagi-lagi Mat Bejo hanya bergeming. Wajahnya tertunduk lesu. Sebatang rokok yang dibelinya tadi ia masukkan dalam saku baju, takut kalau nantinya bakal dibuang oleh istrinya.
Selama ini kehidupan rumah tangga Wak Tamak dan Mat Bejo berada di bawah kendali Wak Tamak. Tidak hanya perihal keuangan, tetapi juga ia yang mengendalikan suaminya agar mengikuti semua ucapannya. Sementara Mat Bejo hanya menurut saja. Lebih-lebih ia dulunya hanya seorang buruh, hingga akhirnya beruntung bisa menikahi anak seorang juragan tanah.
Siangnya Wak Tamak hendak pergi ke sawah untuk menengok padinya yang sebentar lagi akan dipanennya. Tak lupa, ia juga membawa serta kantong hitam yang berisi seluruh uang-uangnya.
Sesampainya di sawah, mata Wak Tamak berbinar-binar. Padinya terlihat cantik menguning keemasan. Ia pun senyum-senyum sendiri, karena sebentar lagi akan mendapatkan uang lagi.
Sepulangnya dari sawah, Wak Tamak berpapasan dengan Sukardi—tetangga Wak Tamak. Sebagai tetangga yang baik, Sukardi pun menyapa Wak Tamak, meski sebenarnya ia tidak begitu menyukai tabiat Wak Tamak yang terlampau pelit.
Sukardi masih ingat betul, bagaimana sikap Wak Tamak ketika ia hendak meminjam uang padanya untuk pengobatan istrinya. Namun, Wak Tamak enggan meminjamkannya dengan alasan ia sendiri juga butuh uang tersebut. Sukardi terus mendesaknya, karena memang benar-benar membutuhkan uang tersebut. Akhirnya Wak Tamak pun mengatakan bahwa ia enggan meminjamkan uang padanya karena takut kalau Sukardi tidak bisa mengembalikan uangnya. Sebab, Sukardi hanya seorang buruh tani yang upahnya tidak seberapa. Sedangkan Sukardi hendak meminjam uang yang jumlahnya lumayan besar, yaitu lima ratus ribu.
Sukardi mencoba melupakan kejadian itu. Ia tetap bersikap ramah kepada Wak Tamak, meski masih menyimpan perasaan sakit hati.
“Wak Tamak, dari mana kok jam segini baru pulang?” sapa Sukardi basa-basi.
“Oh, ini tadi dari sawah yang dekat balai desa itu,” balas Wak sembari menghentikan langkahnya.
“Loh, Wak, tapi kok bawa tas segala?” tanya Sukardi beralih menatap kantong hitam di tangan kanan Wak Tamak.
Wak Tamak celingukan. Ia pun bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia menjawab jujur bahwa kantong hitam itu berisi uang.
“Eh, anu, ini buat bawa HP,” jawab Wak Tamak sekenanya.
Sukardi manggut-manggut yang sepertinya percaya akan ucapan Wak Tamak.
“Ya sudah, saya permisi dulu, Wak.” Sukardi gegas melanjutkan perjalanannya, begitu pula dengan Wak Tamak.
***
Hari ini sudah saatnya Wak Tamak untuk memanen padinya. Tak lupa ia juga membawa uang-uangnya ke sawah. Wak Tamak menaruh kantong hitam yang berisi uang miliknya itu di bawah tumpukan dedaunan kering di kebun pisang Haji Tohir. Dengan begitu, tidak akan ada yang curiga bahwa di bawah dedaunan tersebut terdapat segepok uang.
Wajah Wak Tamak terlihat semringah, sebab hasil panennya kali ini lumayan banyak. Berbekal sabit, Wak Tamak dan Mat Bejo segera memulai mengarit padi dengan saling berbagi areal. Wak Tamak dan Mat Bejo dibantu dengan dua pekerja buruh, yang satu sebagai juru antar padi yang telah dipanen, dan yang satunya lagi bertugas merontokkan padinya. Pekerjaan pun selesai pada pukul empat sore.
Ketika hendak pulang, Wak Tamak gegas ke kebun pisang Haji Tohir untuk mengambil kantung hitam miliknya untuk dibawa pulang kembali. Namun, sesampainya di sana, Wak Tamak memelotot tajam. Mengucek matanya berkali-kali. Seolah tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang.
“Eh, Wak Tamak, ketemu lagi,” sapa Sukardi yang juga berada di sana.
Seperti biasa, Sukardi memang ditugaskan oleh Haji Tohir untuk merawat kebun pisangnya. Tiba-tiba Wak Tamak terkulai lemas. Tubuhnya jatuh ke semak-semak. Sukardi bingung. Sontak ia berteriak meminta tolong. Mat Bejo datang, karena mendengar suara minta tolong.
“Ada apa?” Mat Bejo bertanya.
“I—itu, Wak …,” belum sempat Sukardi melanjutkan ucapannya, terdengar suara Wak Tamak yang menangis tersedu-sedu.
Mat Bejo langsung menghampiri istrinya yang tergolek di semak-semak. Ia bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi?
“Tidak tahu,” Sukardi menjawab pendek.
Perempuan setengah baya itu terus menangis. Sementara asap dari dedaunan kering yang dibakar Sukardi juga terus mengepul. Tumpukan dedaunan kering itu kini sudah menjadi abu yang berterbangan ketika disapu oleh angin. Barangkali itu penyebab Wak Tamak menangis tersedu-sedu. Entahlah.
KOMPAK Yogyakarta, Mei 2021.