PADA MONCONG SENAPAN
-in memoriam ‘45
apa lagi yang mesti kutajamkan
selain jiwa, bambu, dan sepasang mata sayu.
tangan-tangan kian menggigil di pejam malam.
hati terpanggil untuk membuat
peta masa depan. penuh cahaya gemerlapan.
ranting-ranting mencatat airmataku
pada daun-daun yang masih hijau.
entahlah, kapan akan tuhan kabulkan
segala sujud. segala tahajud.
harapku meminjam luas samudra.
dentum dada melebihi mesiu. tapi kuperam.
desis sepatu serdadu memecah sunyi batu.
angin yang berwarna kapas tak dapat mengisap peluh.
tak ada yang patut ditajamkan,
selain jiwa, bambu, dan sepasang mata sayu.
Cabeyan, Agustus 2021.
YANG TAMPIL BEDA SETELAH BUNG KARNO
harus ada kata-kata yang menjelmakan peluru.
meski tajamnya tak melebihi runcing bambu.
agar moncong senapan lawan
tak singgah di bawah songkok setinggi menara monas.
angin putih berganti wajah,
matanya terlihat lelap dari balik kacamata gelap.
dari balik pagar istana, air mata nyaris
menjadi sungai yang sempurna.
gagak-gagak beterbangan dengan paruh terbakar.
ia mengucap pilu.
tapi bendera yang berkibar setinggi rindu,
diludahi pemuda-pemuda berhati batu.
dan dengan tongkat ini,
kabut-kabut akan terpinggirkan ke balik gunung
hujan reda. tangis-sungai kering seketika.
serta bibirmu akan berteriak: merdeka!
Cabeyan, Agustus 2021.
MENGHENINGKAN CIPTA
keheningan dengan halus menyeretku
ke dalam sebuah ruang yang entah,
dan di sana kujumpai darah-darah
deras-jatuh menggenangi tanah
:bernama indonesia.
dentuman mesiu menyerupai degup jantung kepalang.
aku terperanjat dengan kelopak mata mengemas embun
apakah mereka pahlawan yang gugur pada abad lalu?
kemudian aku tersadar, juga kembali ke alam debar