SEBUAH SURAT BERALAMAT YOGYAKARTA
(1)
Aku sering mengalirkan air mata
Pada cadas batu dalam dadamu, Arya
Tapi tidak sekalipun batu-batu itu terkikis
Meski yang mengalir dari mataku
Menjadi aliran sungai
Bahkan meluap menjelma laut
Aku sudah lupa berapa pendar purnama
Dan luka gerhana bercermin di sungai
Yang air mata itu
Hingga angin mencambukkan sesak gelisah
Dan aku makin tak paham
Atas dasar apa air mata diciptakan
(2)
Aduh, Arya!
Kata-kata berlesatan dari dasar matamu
Dan langit di kepalaku berdarah sebab hunusannya
Menghujani bunga bangkai
Yang kau tanam di halaman belakang
(3)
Hingga pada akhirnya
Aku makin mahir menjadi penyihir
Mencabik-cabik seluruh tubuhmu
Yang sudah terkubur dalam puisiku
Lubangsa Putri, Mei 2023.
BAPAK
Kau pernah membuatkanku sebuah bhitek
Dan melepasnya di biru laut
Dengan sekerat bulan celurit
Dan bintang yang enggan mengerlip
Langit hitam membentang
Pun laju angin yang tak tertulis
Di buku ramalan
‘Bukan sebab kau perempuan
Lantas tak bias melacak musim
Dan mematuhi kesiur angin”
Diam-diam bentang laut
Mengarah ke sudut dadamu
Maka demi Tuhan
Bhitek itu akan terus ku dayung
Hingga tiba di semenanjung
Dan akan aku kitabkan
Beragam kisah pelayaran
Termasuk musim dan kesiur angin
Yang hilang dalam kitab ramalan!
Annuqayah, Mei 2023.
KENAPA AIR MATA DICIPTAKAN
“Kenapa air mata diciptakan, Sina?”
Untuk menyuarakan setiap sunyi
Yang di dalamnya sudah terbunuh rindu-rinduku
Yang kau sendiri tak mampu
Menangkap gemanya itu
“Kenapa air mata diciptakan, Sina?”
Untuk mengadili takdir kita
Yang tak pernah pernah berujung
Sebab kau terlalu gegabah
Memotong nasib yang tertera
Lalu memasukkanya ke botol kaca
Pengap dan tanpa suara
“kenapa air mata diciptakan, Sina?”
Untuk membasahi dadamu yang kemarau
Dan hatimu yang tidur panjang
Lubangsa Putri, Mei 2023.
KEPADA_1
Akan kukubur engkau
Di sebuah padang berbunga dalam kepala
Untuk selanjutnya biarkan doa-doa yang membesukmu
Jika tubuhku tak lagi mampu
Mengabulkan tiap-tiap semoga
Alif Senansa, 10 September 2022.
KEPADA_2
Bayangmu mengabur di antara
Hamparan tanah gersang
Dan batu-batu cadas di lancaran
Sedang aku menjadi satu-satunya perindu
Yang akhirnya terbunuh di bebatuan bukit itu
Dan benar-benar tak mampu ku sentuh
Dingin tubuh dan pukau tubuhmu.
Annuqayah, 2022.
ilustrasi: pixabay.
Mantap, sajak yang mengantarkan diksi ke lapak kemarau,,,👍👍👍
makasih. masih belajar hehe