KEPADA IBU DI KAMPUNG
Dari sudut kota yang mengabur
Mengapakah senyummu tak pernah gugur
Tergambar setiap kali malam kehujanan
Nyala perapian bagi jantung yang kedinginan
Pabila sendirian
Selalu kutemukan kalimat baik untuk menemui kau
Meski dengan larik yang kacau
Kaulah bagiku segala kicau
Maka bolehkah aku menjadi hijau bagi pagimu
Menjadi doa untuk kangen yang terus tumbuh?
Yogyakarta, 2021.
MENDAKI
Kubutuhkan senja sore hari
Untuk menerangi jalanan berlubang yang senyap puisi
Ranting kering di tiap sisi
Menumbuhkan pucuk-pucuk deduri
Jika dalam waktu yang bersamaan
Kakimu tersangkut bebatu
Begitu juga hatimu tersandung kangen yang sungguh
Gapailah hatiku segera
Kulindungi kau dari ancaman segala bahaya
Sebelum petang tiba
Kita mesti sampai di puncak bersama
Mengistirahatkan lelah dari sepi yang berliku
Sambil lalu
Mengabadikan cahaya bulan yang jatuh
Yogyakarta, 2021.
PERIHAL DINI HARI
Kini aku mengerti
Mengapa ayah seringkali terbangun dini hari
Bersandar di kursi (yang sebenarnya tak pernah kami duduki)
Memutar instrumentalia rumit
Dan tersenyum memandang cahaya langit
Sebegitu cintakah ia pada malam
Sampai harus merayakannya sendirian
(Tapi
Kosong)
Setiap kali kuintip dari daun pintu
Ternyata ayah menggali lubang tak hanya satu
(Di halaman)
Biar bangkai hujan tak ketahuan
Agar dadaku merdeka dari kesedihan
; ternyata ayah adalah malam itu sendiri
Memelukku dengan tangan-tangannya yang sembunyi
Yogyakarta, 2021.
ilustrasi: Ibu dan Anak Karya Subroto; lukisanku.id.