Kiai dan Teologi Tanah-Air (2): Ijtihad untuk Kemakmuran Rakyat

59 views

Dalam sejarah panjang Nusantara, secara historis teologis, ijtihad teologi tanah dan air yang digagas dan diimplementasikan oleh para wali dan kiai melandasi lahirnya pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Melalui cara-cara yang sesuai dengan adat istiadat dan budaya lokal, masyarakat dipupuk ikatan emosinya dengan tanah, air, dan hutan di segenap penjuru Nusantara. Dalam lagu Indonesia Raya yang asli, tiga stanza karangan WR Supratman, alam pikiran masyarakat soal tanah berberkah, tanah sakti, dan keramat itu termaktub di dalamnya.

Advertisements

November 1945, Resolusi Jihad dari Mbah Hasyim Asy’ari sejatinya manifestasi teologi untuk mempertahankan tanah air Nusantara dari para penjajah yang ingin merebut dan merampasnya dari rakyat Indonesia. “…kejernihan sanubari bahwa membela tanah air adalah manifestasi iman di hati.”

Pada masa kepresidenan Bung Karno, UU Pokok Agraria 1960 diterbitkan: “Tanah mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.” Namun, pada masa Orde Baru selama 32 tahun, distorsi dan penyimpangan tafsir UUPA 1960 banyak sekali terjadi. Seperti UU Pertambangan Nomor 11/1967 atau UU Pertambangan dan Gas Bumi Nomor 8/1971 yang memberikan peluang besar atas hak pengelolaan sumber agraria kepada pihak-pihak swasta dan asing.

Bermula dari pengambilalihan tanah adat Kajang oleh pemerintah pada 1968, pada 2013 di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, terjadi sengketa HGU perkebunan karet PT London Sumatera dengan petani. Fungsi sosial atas tanah telah digeser oleh fungsi komersial sebagai bisnis yang menjanjikan keuntungan.

Pada Muktamar NU ke-25 1971 di Surabaya, Rais Aam PBNU KH Wahab Chasbullah dalam pidato iftitahnya mengatakan, “Mewarisi bumi ini artinya membangunnya agar menjadi suatu dunia yang sejahtera, aman dan makmur, yang di dalamnya berisi keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.”

Di Mesir pada 1980-an, gagasan Hassan Hanafi untuk menggeser teosentrisme menjadi lebih antroposentris berpengaruh terhadap bangkitnya teologi tanah pada abad kapitalisme global. Dalam kasus tanah, ketika seseorang sudah mengakui Allah sebagai Tuhan Semesta Alam, maka konsekuensinya adalah manusia harus memperlakukan ciptaan Allah dengan sebaik-baiknya, termasuk tanah. Untuk itu, modus-modus produksi yang berhubungan dengan kepentingan umum tidak dapat dimiliki secara pribadi dan harus dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keadilan sosial adalah napas teologi tanah. Dalam konteks Nusantara, keadilan sosial bagi rakyat Indonesia adalah napas teologi tanah-air.

Pada Desember 1994, Muktamar NU ke-29 di Cipasung Tasikmalaya menghasilkan keputusan Bahtsul Masail Nomor 403 tentang “Mencemarkan Lingkungan”, yaitu: Hukum mencemarkan lingkungan baik udara, air, maupun tanah apabila menimbulkan dharar, maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat); Konsepsi Islam dalam menangani ekses pencemaran lingkungan adalah: a. apabila ada kerusakan, maka wajib diganti oleh pencemar, b. memberikan hukuman yang menjerakan (terhadap pencemar) yang pelaksanaannya dengan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan lingkungannya.

Bahtsul Masail Nomor 402 tentang “Menggusur Tanah Rakyat untuk Kepentingan Umum” yaitu: Hukum penggusuran tanah oleh pemerintah demi kepentingan umum boleh, dengan syarat betul-betul pemanfaatannya oleh pemerintah untuk kepentingan umum; Cara yang terbaik dalam menentukan ganti rugi penggusuran tanah menurut fikih ditempuh melalui musyawarah atas dasar keadilan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Pada Juli 2005, Kerjasama Forum Silaturahmi Pesantren dan Petani di Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta menyerukan pembatalan Perpres Nomor 36 tahun 2005 demi kepentingan rakyat. Di Garut, Jawa Barat, Kiai Tantowi Jauhari Musaddad, pengasuh Pesantren al-Wasilah Garut, mengurusi lingkungan hidup yang kian terancam kelestariannya akibat kebodohan, kecerobohan, dan keserakahan manusia.

Pada 2016, musyawarah para alim ulama Garut dan sekitarnya menghasilkan fatwa lingkungan: Kewajiban memelihara dan melestarikan lingkungan; Haram hukumnya bagi siapa saja yang melakukan tindakan atau kegiatan perusakan alam dan lingkungan; Penanaman pohon untuk penghijauan, pelestarian lingkungan dan pencegahan banjir sebagai bentuk shadaqah jariyah yang mendapatkan limpahan pahala dari Tuhan; Pelestarian lingkungan merupakan wahana untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT; Orang-orang yang berdosa besar dan hendak bertaubat, cukup dengan mengadakan penghijauan.

Para alim ulama menyadari bahwa manusia dan alam semesta sejatinya merupakan satu kesatuan yang utuh. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, konektivitas manusia dan alam raya bisa dibuktikan. Pada 1961, ahli matematika Edward Norton Lorenz menyusun teori kekacauan: “Suatu hubungan ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal.” Teori ini terkenal sebagai efek kupu-kupu: “Kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil, dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.”

Eksploitasi tanah dan air di berbagai penjuru dunia oleh para kapitalis global, mengakibatkan krisis global pangan, tanah, air, dan lingkungan. Hal ini memicu perubahan iklim global yang juga melanda nusantara. Perubahan siklus cuaca ekstrim mengakibatkan kemarau panjang, hujan sangat lebat, banjir dan tanah longsor, tsunami, gempa bumi.

Ritual sosial-komunal yang berkearifan ekologi merupakan tafsir kontekstual para kiai terhadap teks suci al-Qur’an: “Kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.” Sehingga Islam rahmatan lil alamin adalah Islam yang ramah lingkungan sebagai tradisi hidup bangsa Indonesia khususnya para kiai dan santri.

Pada abad ke-21 ini, kedaulatan bangsa Indonesia atas tanah air Nusantara terancam oleh impitan dan tekanan para imperialis baru yang didukung kapitalisme global. Tanah pertanian, sungai, dan laut diincar untuk diambilalih melalui perusahaan-perusahaan multinasional dengan menghalalkan semua cara.

Pada titik ini para kiai, santri, dan pesantren memegang peran penting untuk menggalang masyarakat mempertahankan, merawat dan mengelola sebaik-baiknya hutan dan tanah-tanah pertanian yang masih ada, serta mengorganisir masyarakat pesisir untuk melindungi kekayaan lautnya.

Dalam konteks ini, pembaruan terus menerus teologi tanah-air sebagai tafsir kontekstual teks-teks suci al-Quran, kitab kuning serta kitab kehidupan Nusantara dan global merupakan perjuangan para kiai dan santri untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang beradab, sentosa, adil, dan makmur serta menjaga dan mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia atas tanah, air, dan udara Nusantara. Ijtihad para kiai dan santri dalam merumuskan teologi tanah-air abad ke-21, sejatinya jihad fi sabilillah untuk mencapai dan meraih maqom mulia manusia sempurna, Insan Kamil, bila ia luput dari derajat kewalian atau kenabian.

Wallaahualam bis shawab.

Rumah Merah, 06 07 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan