Rembulan yang bersinar temaram menemaniku bermalam minggu di teras rumah. Cahaya muram itu menyibak mendung dan menerobos daun-daun kelapa yang berjejer rapi di pekarangan. Gerimis yang tadi sempat menderas kini tinggal menyisakan hawa dingin. Secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas turut pula menemaniku. Tak hanya itu, di samping gelas berisi kopi yang baru diseduh nenek beberapa saat lalu itu menumpuklah puntung-puntung rokok menyaksikan kegelisahanku.
Sesore hingga menjelang larut malam ini paketan dataku telah berkurang dua gigabyte untuk mengulik film-film di Youtube, tak apalah, aku bekerja untuk bertahan hidup. Jangan sampai rasa frustrasi justru yang menikung untuk menghabisi nyawaku. Daripada pikiran kelayapan, berpikir tentang hal-hal negatif, lebih baik aku nonton film.
Di kamar tengah mungkin nenek telah tertidur. Baru saja dia bilang ngantuk setelah bercerita panjang lebar tentang tirakat bapakku ketika aku masih kuliah. Ia banting tulang untuk membiayaiku. Puasa senin-kamis pun tak pernah putus ia lakukan. Kuhirup rokok kuat-kuat seraya mengenang masa-masa saat bersama bapak. Sebak terasa dadaku mengingat semua itu. Tiada rindu yang lebih menyiksa daripada rindu pada orang tua yang telah tiada.
Tiba-tiba ada cahaya motor menyibak gelap diikuti suara yang menderu. Motor GL Max itu bergerak menuju pekarangan rumah. Tak lepas perhatianku mencari tahu siapakah gerangan yang datang malam-malam begini. Sejurus kemudian dia telah sampai di halaman. Ternyata Pak Balyat, tetangga jauh dan merupakan teman dekat bapak. Senyumnya terukir saat melihatku. Aku membalasnya dengan senyum pula.
“Tumben datang malam-malam begini Pak?” tanyaku seraya berdiri menyambut. Dulu dia sering datang di pagi hari membicarakan usaha yang dijalaninya bersama bapak.
“Sedang tak bisa tidur, Tra. Sepertinya terlalu banyak kopi yang kuminum seharian ini,” jawab lelaki paro baya itu. Tokoh desa yang pernah menjadi preman di masa mudanya itu melangkah pelan ke arahku. Dia berkongsi dengan bapak dalam menyewakan alat-alat pesta. Sebenarnya dia dan bapak bagaikan air dengan minyak di masa muda mereka dulu. Bapak guru ngaji, sedang Pak Balyat ketua preman. Namun rupanya bertambahnya umur lambat laun menyadarkan dirinya. Dia tak lagi suka judi dan memalak orang di pasar, walau kadang masih suka minum-minuman keras.