Merujuk catatan investigatif Wahid Instititue, sedari tahun 2014 hingga 2017, jagat media sosial kerap mempertontonkan pesan-pesan yang menyulut sumbu perpecahan. Layar media sosial keranjingan narasi hitam penuh ujaran kebencian (hate speech) dan caci maki.
Itulah suatu kenyataan yang kian menerungku masyarakat maya. Tak henti-hentinya membikin kegaduhan. Mereka digiring ke dalam tubir hitam radikalisme, fanatisme, dan separatisme berdalih membela agama. Wawasan kebangsaan berkelindan toleransi dan pluralisme menjadi muatan pengajaran yang muskil laku.
Tak ada otoritas keilmuan tunggal di jagat maya. Semua berhak menunjukkan ekspresi eksistensialisme pengetahuannya. Dominasi subjektivitas dalam reproduksi pengetahuan (keagamaan) bukan lagi menjadi entitas pengetahuan sarat makna, tetapi telah mewujud suatu ideologi karena tendensi subjektivitas itu. Ia (pengetahuan keagamaan) tidak lagi bersifat absolut dan universal. Pengetahuan yang telah berubah menjadi ideologi tersebut berpamrih menipu orang demi kepentingan si penganut ideologi tersebut.
Aspek kognitif agama meleleh karena telah mengalami sentuhan emosi yang mendominasi. Beberapa penggalan tertentu ayat Al-Qur’an diinterpretasi secara tekstual-eksklusif demi legitimasi kebenaran pengetahuan yang direproduksinya. Implikasinya, yang kerap tampak menghiasi sebagian layar media sosial ialah konten yang memuat kedangkalan pengetahuan agama, bukan pengetahuan agama hasil sublimasi pemahaman dan penghayatan terhadap aspek-aspek keagamaan secara utuh.
Alih-alih memberikan pengetahuan agama yang didaktis, justru terjebak pada kungkungan embrio perilaku anarkis yang mendarah daging. Beberapa kata seperti “kafir”, “pengkhianat agama”, “komunis”, “liberal”, “syariat Islam”, “musuh Islam”, dan lain sebagainya menunjukkan adanya tendensi subjektivitas angkuh dalam mewartakan aspek agama. Perlu laku kreatif mengisi tiap ruang media sosial sebagai upaya menampik narasi destruktif yang berusaha memajalkan ruh keberagamaan kita.
Maujud Kreativitas
“Dalam proses menjadi, kreativitas mutlak ada,” begitu Albert North Whitehead dalam Filsafat Proses, Proses dan Realitas dalam kajian kosmologi menuturkan ihwal kreativitas. Sebagai suatu nomina (kata benda), kreativitas merupakan suatu kemampuan untuk mencipta. Ia adalah entitas adjektiva (kata sifat) dari asal kata “kreatif” ; memiliki kemampuan untuk menciptakan. Kata “kreatif” mesti disematkan pada suatu subjek; manusia.
Sebagai manifestasi adiluhung al-hayawan an-nathiq (hewan yang berpikir), manusia akan senantiasa mendayagunakan akalnya untuk menata kehidupan yang harmonis. Lingkungan telah menempa manusia untuk sejenak berdialektika. Memungut kearifan dalam tiap detail peristiwa lalu berefleksi. Di situlah ia akan mengalami semacam sublimasi berpikir. Mewujudkannya dalam setiap gerak badan, getaran hati, dan sorot mata sebagai ikhtiar mewujudkan budi pekerti yang baik.
Proses berpikir dan berefleksi penting dilakukan dalam mengamati pelbagai fenomena keberagamaan di ruang virtual, juga sebagai langkah awal dalam melahirkan inovasi-inovasi baru. Karena salah satu unsur terpenting dalam sebuah kreativitas ialah adanya dimensi kebaruan, maka inovasi yang dihasilkan melalui pengamatan mendalam terhadap riuh wacana keagamaan di ruang virtual itu mesti menghasilkan kristalisasi gagasan yang solutif.
Salah satunya dengan adanya formulasi konten inovatif yang berorientasi mendedah jalan keluar atas ragam fenomena intoleransi di jagat maya. Konten toleransi sejauh ini ampuh memupuk kesadaran publik akan pentingnya menjaga kerukunan antarumat beragama. Ia tak boleh diabaikan. Tersebab keberadaannya mampu menjadi oase yang menawarkan realitas keberagamaan yang sejuk dengan pelbagai upaya preventif yang dilakukan.
Membikin konten toleransi berarti menautkan pesan-pesan positif secara konsisten. Unsur-unsur kredibilitas, memuat nilai, dapat menarik atensi publik, singkat dan padat merupakan sifat-sifat konten yang tak boleh ditinggalkan. Kredibilitas merujuk terhadap usaha mengecek kembali keabsahan dari konten yang akan dibuat. Sumber-sumber rujukan mesti valid. Selain itu, perlu juga mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik ihwal narasi yang logis dan objektif sebagai pengukuh kredibilitas suatu informasi.
Menyisipkan unsur edukasi, nilai, dan ajakan yang memanggungkan orientasi nilai kemanusiaan juga merupakan entitas adiluhung konten toleransi. Nilai-nilai kebangsaan yang meniscayakan sikap kolektif-kolegial antargolongan mesti diinternalisasi dalam muatan isi konten. Disampaikan secara singkat dan padat tanpa harus menghilangkan substansi di dalamnya. Baik konten toleransi berupa video, publikasi artikel, meme, dan audio semaksimal mungkin dibikin publik tertarik. Tidak melulu mengejar viral.
Dalam konteks “menarik”, konten juga diupayakan aktif memuat materi kontra narasi. Materi ini jelas memberikan pesan yang kuat dalam mempromosikan toleransi dan menampik radikalisme keagamaan. Ihwal pertemanan lintas budaya, agama, dan lintas lainnya akan menjadi kisah yang selalu menyegarkan banyak orang. Cerita-cerita indah berkelindan seputar aksi ‘heroik’ seseorang ketika membantu orang yang dianggap ‘lawan’ akan selalu menjadi konten yang menyentuh pembaca. Ada nilai kebersamaan yang ditunjukkan. Ini penting dilakukan terutama di tengah maraknya peredaran pesan-pesan negatif yang mengajak orang membenci dan memusuhi kelompok lain.
Materi kontranarasi itu dapat menjadi instrumen rujukan preventif bagi publik untuk memperhalus rasa beragama. Memenggal tendensi fanatisme berlebihan sekaligus membasuh nurani yang kadung terpekat jelaga egoisme. Sebab, “Dari fanatisme ke kebiadaban hanyalah satu langkah,” kata Denis Diderot. Tak perlu takut dibilang individu yang mengalami instabilitas psikis karena tak memiliki sikap fanatisme. Sebab dengan memenggal tendensi sikap fanatisme, kita lebih beradab dalam membangun kehidupan beragama.
Dengan perasaan terbuka, seseorang dapat melepas tendensi fanatisme dan egoismenya itu. Mau menerima perbedaan dengan pamrih kemanusiaan. Hanya di bawah payung kemanusiaanlah kita berteduh, mengendorkan otot-otot yang tak mau diam saling memusuhi. Payung kemanusiaan meneduhkan sekaligus menyatukan.
Kita bisa menimba pelajaran humanisme seorang Abdurrahman Wahid yang menakhtakan andil kemanusiaan lebih dari sekadar persoalan agama, seorang Fethullah Gulen yang seumur hidupnya getol mempromosikan perdamaian dan hak asasi manusia, atau Sattar Edhi—pejuang kemanusiaan Islam asal Pakistan–yang mendaku dirinya beragama ‘mengabdi kepada kemanusiaan’ sebagai salah satu manifestasi Islam rahmatan lil-alamin, dan masih banyak lagi pejuang kemanusiaan di belahan dunia yang patut dijadikan role model (teladan) terhadap muatan isi konten toleransi.
Di situlah proses ke-menjadi-an kita sebagai makhluk yang berpikir benar-benar berikhtiar menyemai laku adab keberagamaan di ruang virtual. Konten sarat makna itu merepresentasikan suatu ke “baru” an sebagai sarat mutlak Kreativitas. Biar bagaimana pun kita perlu menyuguhkan konten edukatif di tengah menjamurnya konten-konten performatif yang berorientasi pada pemuasan hasrat semata. Di titik ini, konten toleransi sebisa mungkin harus mendapatkan momentumnya di hati penggandrung jagat media sosial. Ada beberapa tantangan yang harus dilalui.
Beberapa Tantangan
Tujuan membikin konten adiluhung itu tentu akan selalu diiringi beberapa tantangan yang signifikan. Baik tantangan internal maupun eksternal. Jika mereka pemula, tantangan internal berupa inkonsistensi akan selalu menghantui. Jangan memaksakan diri untuk selalu membuat karya yang sempurna, merayakan setiap keberhasilan yang dicapai, berkonsultasi dengan orang-orang sekitar yang sudah mumpuni berkiprah dalam pembuatan konten media online, dan mengikuti setiap kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan dalam pembuatan konten merupakan sebentuk ikhtiar menjaga konsistensi kita sebagai pemula pembuat konten.
Selain konsistensi, faktor eksternal berupa sikap kontra dari publik terhadap muatan isi konten bisa saja melahirkan para haters (pembenci) yang provokatif. Mereka biasanya mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan cara-cara negatif, atau bahkan brutal. Sehingga membikin pembuat konten toleransi pemula merasa keder dan enggan meneruskan jejak kreatifnya. Di era pasca-kebenaran seperti saat ini, haters dapat muncul kapan saja melalui pelbagai platform media sosial, baik individu maupun kelompok.
Para pemula pembuat konten toleransi dituntut arif menyikapi realitas problematik macam ini. Kritik-kritik yang tidak relevan, tidak semestinya disikapi secara berlebihan. Selama pembuat konten tidak keluar dari koridor hukum yang berlaku, sudah sepatutnya ia terus melanjutkan agenda kreatifnya itu. Pada titik kesadaran yang lebih sublim, hadirnya haters secara fungsional juga bisa dijadikan bahan evaluasi terhadap cara penyampaian kita dalam konten yang kita buat.
Selama konten dibuat, akan selalu ada dua faktor problematik di atas. Biar bagaimana pun keduanya harus disikapi secara kritis-inklusif. Mengedepankan nalar kritis sembari medayagunakan intuisi kita. Hal ini penting dilakukan agar diri tak mudah terprovokasi dua faktor yang saling tarik ulur itu. Sekaligus sebagai ikhtiar melanggengkan setiap agenda kreatif kita demi menaja adab keberagamaan. Semoga.