Dari kacamata saya sebagai generasi (Gen) Z, santri hari ini menghadapi tantangan yang beragam dan unik dalam mencari dan memahami identitas mereka. Di tengah laju modernisasi yang cepat, globalisasi dan teknologi yang terus berkembang, santri menemukan diri mereka berada di persimpangan antara tradisi agama yang kuat dan tuntutan untuk beradaptasi dengan budaya dan nilai-nilai baru.
Di satu sisi, pesantren yang secara umum dinilai sebagai lembaga pendidikan tradisional yang memainkan peran penting dalam membentuk identitas santri. Mereka diajarkan nilai-nilai agama, adab, dan moralitas yang kaya oleh para kiai dan guru dalam mengabdikan hidup mereka untuk pendidikan Islam. Namun pada kenyataannya, santri begitu mudah terpapar dengan dunia luar yang penuh dengan pengaruh global, media sosial, dan budaya populer yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka pelajari di pesantren.
Salah satu ciri krisis identitas santri Gen Z terletak pada konflik internal antara dua dunia yang berbeda ini. Mereka merasa tertarik pada gaya hidup modern, teknologi, tren populer seperti teman-teman sebayanya yang ada di luar pesantren, sedangkan di sisi lain mereka juga merasa terikat dengan tuntutan agama dan tradisi yang diajarkan di pesantren. Kebanyakan mereka selalu mempertanyakan dirinya sendiri, “Bagaimana saya bisa menjadi bagian dari dunia yang sedang berkembang tanpa kehilangan jari diri saya sebagai seorang santri?”
Kabar baiknya, adanya krisis identitas ini bisa menjadi sebuah peluang untuk pertumbuhan dan refleksi diri. Santri Gen Z memiliki banyak kesempatan untuk mengeksplorasi dan memahami agama dalam konteks modern. Mereka dapat mengintegrasikan nilai-nilai yang diajarkan di pesantren dengan cara yang modern, untuk menemukam cara bagaimana Islam dapat menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari mereka yang semakin kompleks. Dari sana mereka bisa menemukan atau menciptakan identitas yang unik dan autentik yang menggabungkan dunia saat ini.
Tentu saja, proses ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Santri Gen Z yang sering kali dihadapkan tantangan dari berbagai arah; tekanan dari luar (eksternal) yang secara tidak langsung menuntut untuk mudah beradaptasi dengan tren dan gaya hidup modern, begitu pula dari keluarga dan dari dalam diri seorang santri itu sendiri (internal). Meski begitu, dengan adanya komunitas pesantren dan keluarga atau pihak lain yang mendukung, mereka dapat menavigasi krisis identitas ini dengan baik. Seperti yang dikatan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya.” Karena pada faktanya, sekeras apapun kita menolak modernisasi, globalisasi dan teknologi akan tetap berkembang, bahkan jauh lebih cepat.