Pagi ini ia melihat labuhan yang sudah dikerumuni puluhan orang. Setiap hari, ia juga melihat labuhan yang panjangnya tiga puluh meter. Lima belas meter pertama terbuat dari semen campur batu gunung, sisanya terbuat dari kayu ulin. Ia mencium aroma parfum dikenakan beberapa orang yang hendak bepergian ke pulau seberang.
Di seberang, adalah kota-kota penuh lampu dan cahaya yang tidak pernah berkurang. Sementara, ia hanya memandang ujung pelabuhan sambil berpikir, kapan ia akan ke pulau seberang; mengunjungi kota-kota yang diceritakan tetangganya. Ia putus sekolah meginjak kelas lima sekolah dasar. Ibunya meninggal dan satu-satunya orang yang mampu menggantikan adalah kakeknya.
Di rumah, kakenya senatiasa menceritakan bagaimana labuhan itu didirikan. Kakeknya salah seorang pelayar ulung yang selalu berlayar ke utara. Ke Kalimantan, kata kakeknya. Ia tidak tahu Kalimantan di mana. Tetapi, ketika orang-orang menyebut hendak ke utara yang terlintas adalah Kalimantan, kalau tidak ya Banjarmasin.
Nama-nama itu yang dikenalkan kakeknya dan hingga kini masih lekat di kepalanya. Neneknya lebih sibuk mengurusi urusan pasar sebagai pedagang bawang dan bumbu-bumbu dapur lain. Neneknya tidak punya penghasilan yang banyak dan harus menanggung semua urusan rumah. Kakeknya yang sudah lama tidak berlayar tidak bisa membantu apa-apa selain mengangkat barang dan mengantar ke pasar.
Matanya masih lekat tertuju pada labuhan yang setiap pagi memang tidak lengang. Selalu saja ada orang-orang yang hendak bepergian ke pulau seberang. Kadang ia ingat ibunya yang sudah tenang atau ayahnya yang menikah lagi. Yang pasti, ketika pagi ini ia mengunjungi labuhan —ia menyebutnya labuhan kayu— di kepalanya kembali tersulut cerita-cerita lama.
Kepalanya memang seperti celengan tempat menyimpan cerita-cerita yang tidak banya diketahui orang-orang kampung, selain ia. Selain ia dan kakeknya, atau bahkan neneknya. Ketika perahu dengan cat warna biru menyalakan mesin, kepalanya kembali mengingat apa yang diceritakan kakeknya.
Semula pelabuhan itu tidak terbuat dari semen dan kayu. Panjangnya hanya mencapai sepuluh meter dan semuanya terbuat dari kayu ulin. Baru setelah mengalami kerusakan parah di bagian hulu, maka diganti. Kini, tinggalnya ujungnya saja yang terbuat dari kayu ulin banjarmasin. Di bagian hulu, semen dan batu gunung yang mengambil alih. Dan panjangnya mencapai tiga puluh meter pas.