LGBT dalam Perspektif Islam

64 views

Di tengah kesemarakan dan euforia penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar muncul kontroversi yang tak ada hubungan dengan sepak bola. Misalnya, tim nasional Jerman, ketika akan memulai pertandingan pertamanya pada babak penyisikan, melakukan aksi tutup mulut pada laga melawan Jepang pada 23 November 2022. Rupanya, aksi ini sebagai bentuk dukungan mereka terhadap keberadaan kelompok yang disebut LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender).

Selain itu, sejumlah tim ngotot untuk diizinkan mengenakan ban kapten berwarna pelangi. Bahkan, ada seorang supoter yang masuk dan berlari di tengah lapangan sembari mengibarkan bendera berwarna pelangi. Rupanya, warna pelangi juga menjadi simbol keberadaan kelompok LGBT ini. Aksi pengenaan ban kapten dan pengibaran bendera berwarna pelangi tersebut juga merupakan bentuk dukungan terhadap keberadaan kelompok LGBT.

Advertisements

Protes-protes tersebut mereka lakukan lantaran Qatar sebagai tuan rumah tidak mengizinkan adanya simbol-simbol LGBT di wilayah negara tersebut. Atas larangan itu, kalangan yang melakukan protes tersebut menganggap pemerintah Qatar telaah bersikap diskriminatif terhadap kelompok LGBT.

Atas peristiwa itu, Qatar pun dianggap menganut Homophobia. Sebutan Qatar telah berlaku diskriminatif dan menganut Homophobia di antaranya justru dilontarkan oleh influencer dari Indonesia. Tentunya, pendapat tersebut menuai banyak kecaman dan sempat menduduki trending di sosial media. Mengingat, negara kita yang mayoritas penduduknya muslim juga menolak eksistensi LGBT dengan anggapan telah menentang nilai-nilai Pancasila, norma kesusilaan, dan ajaran agama.

Perspektif Islam

Dalam agama Islam, LGBT sangat tegas ditolak keberadaannya karena bertentangan dengan fitrah manusia. Penolakan tersebut dikaitkan dengan dalil Surah Al-A’raf: 81 yang berisi kisah Nabi Luth AS dan kaum Sodom. Meninjau protes atas perilaku diskrimanif Qatar, dan keharaman perilaku homoseksual dalam Islam, benarkah Islam melakukan diskriminasi terhadap kaum minoritas tersebut?

Dalam website INSIST diungkapkan bahwa komunitas Islam memiliki dua kecenderungan dalam memandang LGBT. Pertama, kelompok yang mengadvokasi dan membiarkan kalangan LGBT. Mereka menganggap bahwa LGBT ialah perilaku yang normal. Hal tersebut sesuai dengan deklarasi American Psychiatric Association (APA) yang menyebutkan bahwa homoseksualitas tidak termasuk gangguan mental.

Deklarasi lainnya terdapat dalam buku Islamic Law dan Muslim Same-Sex Unions yang ditulis oleh Junaid Jahangir dan Hussein Abdullatif, yang menegaskan bahwa tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara langsung membahas larangan hubungan sesama jenis. Kisah Nabi Luth dan kaumnya merupakan hasil ijtihad para ulama dan bukan langsung larangan dari Tuhan.

Adapun kelompok kedua, memberikan pandangan pada kalangan minoritas tersebut mengapa aktivitas mereka terlarang. Kelompok ini juga mengomentari argumen dari kelompok pertama. Mereka mengungkapkan bahwa larangan homoseksual bukan berlandaskan dari kisah Nabi Luth melainkan dipahami langsung dari teks Al-Qur’an.

Penggunaan qiyas dilakukan para ulama untuk membahas hukuman bagi para homoseksual yang di mana terdapat perbedaan pendapat soal itu. Menurut para ulama klasik, Tuhan mengazab umat Luth karena perilaku seksual mereka, bukan sebab orientasi homoseksualnya. Tapi, mereka turut menyepakati bahwa perbuatan tersebut termasuk fakhisyah yang dilarang agama.

Bahkan, Ibn Hazm yang sering dijadikan patokan bagi pembela LGBT pun dengan tegas mengungkapkan bahwa menghalalkan (homoseksual/anal sex) termasuk golongan orang kafir dan musyrik.

Lantas, benarkah umat Islam melakukan diskriminasi terhadap LGBT? Jawabannya tentu saja tidak. Islam menegaskan keharaman perilakunya sesuai dengan Fatwa Tarjih dalam buku Tanya Jawab Agama jilid IV yang menyebutkan bahwa homoseks dan lesbians haram hukumnya. Dalam surah An-Naml ayat 55 pun disebutkan bahwa kaum Luth termasuk sekelompok orang-orang yang tidak mengetahui (qawmun tajhalun). Oleh karenanya, tugas umat Islam ialah meluruskannya, mengajak kembali kepada jalan yang lurus, dan tidak dibenarkan melakukan perundungan atau tindak kekerasan kepada pelaku LGBT.

Lalu, benarkah pelarangan Qatar terhadap penggunaan ban kapten “One Love” dengan warna pelangi termasuk bentuk diskriminasi terhadap kaum minoritas? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab, Qatar sebagai tuan rumah penyelenggara Piala Dunia memiliki peraturan yang wajib dihormati bagi para suporter dan pemain demi terselenggaranya acara dengan aman dan sejahtera.

Yang perlu digarisbawahi, Qatar tidak melarang kaum LGBT untuk turut mendukung dan menghadiri acara tersebut. Melainkan, pelarangan tersebut sebab bentuk dari propaganda hak, nilai, dan kepercayaan kepada yang lain. Sama halnya dengan influencer yang sempat saya sebutkan di atas, ia mengomentari ketidaksetujuan pihak lain atas argumennya soal tindakan Qatar terhadap kaum minoritas. Tentunya, semua orang bebas berpendapat, namun kita perlu mengingat tidak seharusnya memaksakan pendapat kita kepada yang lain.

Islam telah melarang tegas perilaku LGBT. Namun, kebencian hanyalah berlaku pada perilakunya, bukan orangnya. Meski demikian, Islam tetap tidak membenarkan tindakan-tindakan kekerasan atau mengucilkan kaum minoritas tersebut. Sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam justru mengajarkan kepada umatnya untuk turut merangkul kembali mereka kepada jalan yang lurus.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan