Tak lekang dalam ingatan kita, khususnya bagi keluarga Pesantren Zainul Huda dan masyarakat Kangean umumnya, perihal wafatnya Nyai Zahroh satu bulan lalu (08 Mei 2022), dan KH Ghazali Ahmadi sebelas bulan lalu (16 Juli 2021). Kini, berita duka itu kembali menyelimuti Pesantren Zainul Huda dan masyarakat Kangean, dengan mangkatnya salah seorang ulama berjuluk hamba ilmu, yakni KH Syarfuddin Abdusshomad, tepatnya Selasa, 28 Juni 2022, pukul 07.20 WIB.
Siapa sangka, hari Senin kemarin (27/6), menjadi pertemuan terakhir saya dan keluarga dengan KH Syarfuddin Abdusshomad. Tampaknya Allah lebih menyayangi beliau daripada kita semua, sehingga ia dipanggil menghadap-Nya.
Mangkatnya Kiai Syarfuddin selain menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Kangean khususnya, juga sebuah musibah terbesar bagi umat Islam pada umumnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Saw, yaitu:
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيْبَةٌ لاَ تُجْبَرُ، وَثُلْمَةٌ لاَ تُشَدُّ، وَنَجْمٌ طُمِسَ، مَوْتُ قَبِيْلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ.
“Wafatnya seorang ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama.” (HR. Al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imam dari Abu Darda’)
Seperti diketahui bersama bahwa di lingkungan masyarakat Arjasa Lao’-Duko Lao’ Kangean Sumenep (dusun tempat KH Syarfuddin Abdusshomad tinggal), beliau dikenal sebagai seorang kiai, pendidik, dan ulama yang telah memainkan peranan penting dalam penyebaran dakwah Islam Ahlusunah wa Al-Jamaah di awal tahun 1960-an, khususnya di pulau-pulau terpencil di Kabupaten Sumenep, Madura, terutama Kangean.
Menarik, karier intelektual Kiai Syarfuddin tak seperti kebanyakan kiai pada umumnya yang sering belajar ke Mekkah. Yang pada saat itu, Mekkah diyakini sebagai salah satu tempat terbaik untuk memperdalam ilmu pengetahuan, khususnya di bidang keagamaan. Kiai Syarfuddin hanya menimba ilmu di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Madura. Kemudian melanjutkan ke Pesantren Sukorejo Situbondo, namun dengan status bukan santri aktif Sukorejo.
Walau begitu, kealiman Kiai Syarfuddin di bidang ilmu keagamaan sudah masyhur di kalangan masyarakat Kangean, Sumenep. Maka tidak heran, jika beliau dijadikan rujukan banyak orang. Bukan hanya di kampungnya sendiri, melainkan dari luar kampung kiai. Baik menyangkut persoalan keagamaan maupun lainnya, semisal persengketaan, pertanian, dan sebagainya. Inilah bukti autentik perihal keulamaan Kiai Syarfuddin.
Dari sekian ilmu keislaman atau keagamaan yang dikuasainya, menurut saya ada satu ilmu yang paling digandrungi – tanpa menafikan ilmu lain – adalah ilmu nahu dan saraf, suatu cabang ilmu yang dikenal dengan tingkat kerumitan dan kesulitannya. Tak pelak, jika ada sebagian kalangan santri merasa bosan mempelajari, dan bahkan enggan untuk memperdalamnya.
Namun, berbeda dengan Kiai Syarfuddin yang justru menggandrungi ilmu nahu dan saraf. Bagi beliau, ilmu tersebut merupakan fondasi awal atau pintu pertama dalam memahami kitab kuning. Oleh karena itu, tanpa mengusai hal ihwalnya seseorang akan merasa kesulitan untuk dapat memahami kitab-kitab karya ulama klasik (kitab kuning).
Saking gandrungnya terhadap ilmu nahu dan saraf, tak jarang dalam setiap pengajian yang diampuhnya walaupun bukan kitab-kitab hahu-saraf, semisal Jurumiyah, Kailani, Alfiyah ibn Malik, dll Kiai Syarfuddin acapkali membahas masalah nahu-saraf dengan cara memberi pertanyaan kepada setiap santri yang mengikuti pengajiannya.
Lazimnya, pertanyaan yang kerap dilontarkan seputar i’lal, i’rab, kedudukan kalimat, sighat, bentuk kalimat, dan pertanyaan nahu-saraf lainnya. Bahkan, di Pesantren Zainul Huda, pelajaran tentang nahu dan saraf mendapatkan porsi yang lebih daripada ilmu-ilmu keislaman lain. Maka tidak heran, apabila santri dan para alumnus Pesantren Zainul Huda banyak yang mahir dalam hal ilmu nahu dan saraf.
Yang menarik, pertanyaan-pertanyaan tentang seputar nahu dan saraf tersebut tak hanya berlaku bagi santri aktif di Pesantren Zainul Huda. Akan tetapi, Kiai Syarfuddin juga memberlakukan untuk para alumnusnya. Baik yang sudah menjadi kiai maupun yang masih melanjutkan jenjang pendidikannya ke pesantren-pesantren lain di Jawa seperti Pesantren Sukorejo Situbondo, Nurul Jadid, dll. Karena itu, jika para alumnusnya sowan ke ndalem beliau, hal yang pasti ditanyakan adalah tentang nahu dan saraf, tentu setelah menanyakan kabar.
Demikianlah, cara KH Syarfuddin Abdusshomad dalam mendidik para santri-santrinya terutama tentang ilmu nahu dan saraf. Namun, kini pertanyaan yang tak jarang membuat gemetar dengan penuh keringatan tersebut tidak akan pernah terdengar lagi untuk selama-lamanya. Semoga amal ibadah dan perjuangan beliau selama ini diterima di sisi Allah. Amiin. Wallahu A’lam.
One Reply to “Mangkatnya Sang Hamba Ilmu, KH Syarfuddin Abdusshomad”