“Berangkat dulu, Dik,” Kang Dasuki pamit kepada istrinya.
“Iya, Mas. Hati-hati di jalan,” jawab istrinya dari kamar.
Kang Dasuki cekatan membuka pintu truk tuanya. Kunci ditancapkan, dibelokkan setengah ditekan ke arah kanan, sambil berharap mesin tua truknya mau berkompromi. Gagal. Mesin tidak mau hidup. Kang Dasuki mengulanginya sekali lagi. Tetap gagal. Beberapa kali dicobba lagi. Gagal juga. Mesin truk tuanya tidak juga hidup.
Kang Dasuki mangkel. Pintu truk dibuka dan dibanting sangat keras untuk menutupnya. Braakkk!
Seekor ayam yang mengais kerikil di dekatnya terkejut, meloncat setengah meter saking kagetnya. Berkokok tak karuan. “Kokok-petok-petok-kokok-petok.” Mata si ayam memandang tajam Kang Dasuki dengan tatapan marah. Sayapnya separo dikembangkan, mengambil ancang-ancang untuk menerkam. Tetapi, keinginan hati ayam untuk ngabruk demi melampiaskan kekesalannya diurungkan. Apa daya hukum alam, besar-kecil ukuran, naluri dan pikiran jelas menjadi gap.
Kang Dasuki menghadap ke selatan, berkomat-kamit sebentar,
“Mbaaah… cucumu mau pergi cari rezeki. Sri rejeki… Sedulur kiblat wetan, kidul, kulon, lan lor pernahe. Bapa akasa, ibu pertiwi. Wus pepak sedulur papat kalimo pancer. Rewangi ingsun golek rejeki sandang, pepak rejeki pangan. Murah rejeki gawe papan lan mapan, niat ingsun krana Gusti Allah Taala. Lailahaillahhu Muhammadarasulullah.” Kang Dasuki mengucap mantra dengan khidmat.
Mesin truk dapat hidup karena kehendak Allah, tapi menurut keawaman Kang Dasuki tentu karena keampuhan mantra yang diucapkan. Mesin tua truknya hidup. Kang Dasuki tersenyum. Memainkan tuas kopling, rem, dan gas untuk menyeret roda-roda truk menyusuri jalan demi perputaran roda nasib Kang Dasuki biar tidak blong.
Kang Dasuki memang sejak muda telah berkenalan dengan truk. Sejak ia sekolah SMP dan keluar dari pesantren, gambaran-gambaran tentang kehidupan sopir truk telah menghiasi imajinya. Bulatlah tekad Dasuki muda, untuk keluar dari pesantren dan tidak meneruskan ke jenjang SMA.