Dewasa ini, target dari paham radikalisme mulai meluas. Mulai dari pondok pesantren, sekolah-sekolah, sampai pada kampus-kampus atau perguruan tinggi menjadi ladang empuk bagi tumbuhnya radikalisme. Pemuda adalah salah satu target paling disasar, termasuk mahasiswa salah satunya.
Beberapa bulan yang lalu, salah satu mahasiswa perguruan tinggi di Jawa Timur ditangkap karena diduga berafiliasi dengan jaringan terorisme. Mahasiswa berinisial IA, 22 tahun, itu ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri di sebuah kos-kosan yang terletak di Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
IA diduga menyebar propaganda Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) melalui media sosial pribadinya. Selain itu, naifnya lagi, IA juga diduga berperan dalam penggalangan dana untuk membantu organisasi transnasional tersebut di Indonesia.
Radikalisme kerap menjadi isu yang segar, sekaligus menakutkan dan beringas. Eksistensinya bukan hanya sebatas mengundang perang argumen dan ideologi. Lebih dari itu, radikalisme sukses mengundang problem yang cukup berbahaya, bahkan sangat fatal, seperti halnya terorisme, sebagaimana yang dilakukan IA, dan bom bunuh diri.
Radikalisme bukan hanya ihwal ideologi dalam hal keagamaan. Keberadaannya yang beringas rupanya memiliki kaitan yang sangat erat dengan sosial dan politik. Ini barangkali menjadi suatu hal yang disembunyikan oleh mereka, namun nyatanya sangat kentara terlihat. Senada dengan yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme merupakan perbuatan yang keras dalam menuntut perubahan undang-undang.
Karakteristik radikalime adalah tindakannya yang keras, cenderung diskriminatif, intoleran, dan memiliki pemikiran yang terkesan rigid atau kolot. Maknanya, paham radikalisme selalu menolak pikiran yang kompherensif. Sehingga dengan karakter demikian, paham ini selalu bersikap egosentris.
Ahmad Fauzan dalam tulisannya mengatakan, radikalisme dalam konteks ke-Indonesia-an memang sangat erat kaitannya dengan politik, sehingga dia mengistilahkannya dengan ekstremisme politik. Alasannya sama, karena radikalisme di Indonesia selalu dijumpai dengan gerakannya yang menuntut perubahan undang-undang, sosial, dan politik dengan jalur ekstrem, kekerasan misalkan.
Pada lumrahnya, radikalisme selalu dikaitkan dengan terorisme. Bahkan, mayoritas orang beranggapan demikian. Radikalisme dan terorisme memang cukup identik. Namun, beberapa pendapat menyatakan bahwa radikalisme sebenarnya berbeda dengan terorisme.
Dalam sebuah jurnalnya bertajuk “Menghalau Radikalisme Kaum Muda; Gagasan dan Aksi”, Firmanda Taufik mengatakan bahwa radikalisme dan terorisme adalah dua hal yang beda. Meski keduanya sekilas mirip, terorisme dan radikalisme memiliki makna yang tidak sama.
Radikalisme—menurut Firmanda, dengan mengutip pernyataan Syafii Maarif—adalah sebuah paham dalam internal keagamaan, sedangkan terorisme sendiri adalah gerakan atau tindakan kriminal global, yang untuk mengatasinya harus dengan langkah global pula.
Ahmad Fauzan dalam tulisannya “Membendung Gerakan Radikalisme di Indonesia” yang terbit di Harakatuna.com, justru mengambil jalan tengah. Menurut Fauzan, radikalisme itu terbagi menjadi dua bagian, ada radikalisme pemikiran, ada juga radikalisme tindakan. Radikalisme pemikiran adalah yang sering kita sebut sebagai fundamentalisme. Sedangkan, radikalisme tindakan adalah terorisme itu sendiri.
Jadi, terlepas dari perbedaan radikalisme dan terorisme, sebenarnya keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya saling berkaitan. Terorisme merupakan sebuah indikator adanya paham radikalisme, begitu kira-kira.
Ushul Fikih sebagai Solusi
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk membawa mahasiswa pada jalur moderasi beragama, jalur yang lebih aman. Dengan kata lain, beberapa sikap atau kebijakan bisa dilakukan untuk menangkal radikalisme kampus.
Salah satu langkah tersebut adalah optimalisasi mata kuliah ushul fikih atau optimalisasi kajian ushul fikih di lingkungan kampus. Optimalisasi dilakukan sebagai penyempurnaan terhadap mata kuliah ushul fikih yang sudah ada, seperti pengoptimalan dari segi sistem pembelajaran.
Ushul fikih juga dikenal dengan sebutan The Principle of Islamic Jurisprudence. Hal itu disematkan karena ushul fikih merupakan paket metode yang memiliki otoritas dalam menyusun dan memberi warna pada ilmu fikih. Pun, dalam ushul fikih ada berbagai metodologi yang dijadikan landasan untuk menetapkan hukum Islam ihwal perbuatan manusia berdasarkan dalil yang terperinci, sebagaimana dikatakan Khallaf dalam kitabnya.
Al-Alamah Ibnu Khaldun bahkan sampai mengatakan bahwa ushul fikih merupakan induk bagi keilmuan syariat lainnya, sementara itu ia juga menegaskan bahwa ushul fikih merupakan ilmu yang paling agung. Alasannya, adalah karena ushul fikih menjadi ilmu yang memuat metode penggabungan (kumulatif) dari berbagai disiplin keilmuan, misal; Ulumul Quran, Balaghah, Ulumul Hadits, Ilmu Fiqh, dan beberapa ilmu syariat lainnya.
Maka, setidaknya ada tiga bentuk optimalisasi yang bisa dilakukan dalam mata kuliah ushul fikih. Pertama, ushul fikih dijadikan mata kuliah pokok perguruan tinggi. Saat ini, mata kuliah ushul fikih masih diajarkan dan disuguhkan kepada beberapa mahasiswa di prodi-prodi yang berada di bawah naungan syariat, sedangkan pada beberapa prodi non-syariat mata kuliah ini jarang ditemui.
Maka, akan lebih optimal jika ushul fikih kemudian menjadi Mata Kuliah Pokok (MKP) di perguruan tinggi, khususnya di Perguruan Tinggi Keilmuan Islam Negeri (PTKIN). Sehingga, mata kuliah ushul fikih bisa ditemui di berbagai prodi dan bisa dipelajari oleh mahasiswa dari beragam macam keilmuan dan kejuruan.
Kedua, kajian ushul fikih dengan konsentrasi ihwal problematika kontemporer. Salah satu masalah ushul fikih saat ini adalah hanya stagnan pada persoalan-persoalan yang klise, persoalan yang kaku, misal hanya berhubungan dengan ubudiyah, seperti; nikah, salat, dan lainnya.
Persoalan-persoalan lain yang bersifat muamalah kontemporer justru yang harus menjadi prioritas. Salah satu fungsi dari ushul fikih sendiri adalah menjawab segala isu kekinian dengan menggunakan metode yang dilakukan oleh para mujtahid. Meskipun tidak harus menghasilkan hukum sendiri, setidaknya dengan sistem demikian, mahasiswa akan dirangsang untuk bersikap kritis terhadap isu baru dan menempatkan posisinya secara lebih moderat dalam mengambil keputusan.
Selain itu, dengan cara tersebut, mahasiswa juga akan berhadapan dengan metode-metode istinbath yang ada, sehingga tidak akan mudah menyalahkan pendapat orang lain yang berbeda. Kepekaan mereka dalam menyimpulkan dan menentukan hukum juga akan terlatih.
Ketiga, creative learning; metode sharing knowledge learning. Metode ini merupakan cara yang lumayan efektif dalam menghilangkan kebosanan dalam belajar dalam kelas. Cara ini hampir sama dengan sistem bahstul masail yang biasa dilakukan oleh Nahdhatul Ulama dan beberapa pesantren dalam menetapkan sebuah permasalahan.
Dengan metode pembelajaran seperti ini, mahasiswa akan cenderung bekerja sama dalam tim, menghargai pendapat orang lain, dan bisa bertukar ide. Selain itu, kekritisan mereka dalam melihat suatu problematika baru juga akan terlatih. Wallahu a’lam…