Fakta bahwa masih ada paham ekstrem di wajah Islam Indonesia tidak bisa dielakkan. Fenomena bom bunuh diri yang bahkan masih sempat terjadi pada tahun ini adalah bukti bahwa Indonesia belum merdeka dari ancaman paham ekstrem, baik ancaman berupa pengaruh maupun menjadi korban nyawa.
Ihwal bom bunuh diri tidak lain berangkat dari opini yang dibangun di atas fondasi egoisme ortodoks; bahwa mereka yang berbeda keyakinan halal darahnya dan sebagainya.
Opini demikian salah satunya berangkat dari salah paham terhadap teks-teks keagamaan yang secara tekstual cenderung keras, khususnya terkait jihad. Namun, di satu sisi, demikianlah realitas manusia. Ia memiliki ciri khas plural yang memang rentan memunculkan konflik. Jadi wajar saja jika harus ada fenomena demikian, namun membuat sakit hati jika hal demikian mengatas-namakan Islam. Hal demikianlah yang membuat stigma “agama perang” kepada Islam.
Dalam tulisan ini kami hendak menawarkan suatu alternatif yang berangkat dari prediksi penulis pribadi; bahwa alih-alih Islam merupakan agama perang, ia justru payung satu-satunya yang dapat menaungi semua perbedaan.
Sebelum itu, kami membahas terkait adanya perang untuk menolak praduga bagaimana Islam dapat merangkul perbedaan sementara ia sendiri memiliki mata kejam terhadap mereka yang berbeda. Secara khusus kami hendak membahas pendapat ulama terkait sebab diwajibkannya (illat) memerangi non-muslim.
Perang Menurut Jumhur
Kalangan mayoritas tegas bahwa jihad ofensif itu disyariatkan karena adanya api permusuhan yang memang sengaja disulut oleh kelompok non-muslim.
Ada empat ayat yang mendukung opini demikian. Dalil pertama adalah surah Al-Baqarah ayat 190:
وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
Artinya: perangilah oleh kalian di jalan Allah akan orang-orang yang memerangi kalian dan janganlah kalian melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ibnu Taimiyah dalam kitab Qa’idah Mukhtasharah menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan adanya perintah perang yang dikaitkan dengan serangan. Ia tegas bahwa serangan kepada Muslim adalah alasan diperintahnya perang.
Ibnul Qayyim dalam hal ini juga mengatakan hal yang sama; bahwa perang hanya sebagai pembalasan atas perang bukan atas kekufuran. Dalam kalimat ولا تعتدوا Ibnu Taimiyah tegas bahwa memerangi non-muslim yang tidak membuat gara-gara kepada muslim adalah bentuk permusuhan yang dilarang oleh Islam.
Selaras dengan itu, Asy-Sya;rawi juga menjelaskan bahwa Allah melarang untuk berbuat hal yang melampaui batas di mana ia tidak memerangi orang-orang yang tidak memeranginya. Bukti dari keabsahan illat ini adalah larangan untuk membunuh anak kecil, perempuan dan orang yang sudah tua. Pasalnya, tiga kelompok tersebut dulu cenderung tidak ikut berperang. Sebab itulah mereka tidak boleh dibunuh. Inilah moralitas yang perlu di jaga dalam perang. Adalah tak masuk akal jika Islam dituduh agama yang keras dan intoleran, sementara di satu sisi ia mempertahankan nilai moralitas, bahkan saat terpaksa membela diri dari serangan musuh.
Dalil kedua adalah surah Al-Mumtahanah 8-9:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Melalui ayat ini Syekh Ali Jum’ah dalam kitabnya, Al-Musawah al-Insaniyyah, menjelaskan bahwa keadilan adalah hal yang wajib bagi mereka yang beriman kepada Allah. Keadilan tidak tertentu untuk muslim, melainkan seluruh alam, tanpa memandang jenis dan identitas tertentu. Dari itu, tidak seharusnya seorang muslim memerangi non muslim berdasarkan prinsip kebebasan beragama, dan tidak mengusir mereka dari negara Islam. Ia-kah perbuatan diskriminatif di atas selaras dengan prinsip kebebasan, keadilan dan kasih sayang.
Sejalan dengan itu adalah apa yang dikatakan oleh Syekh Yusuf Al-Qordlawi dalam kitabnya, Ghairul Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islami. Dalam kalimatnya beliau menyebut bahwa salah satu hak non muslim adalah aman dari gangguan eksternal (warga negara lain) maupun internal (warga sebangsa). Tegasnya beliau mengatakan bahwa menjaga mereka dari gangguan adalah perkara yang sangat diwajibkan. Sangat keras Islam dalam melarang untuk berbuat zalim kepada mereka.
Islam adalah agama penuh rahmat. Itu perlu dipahami tidak hanya oleh mereka ingin merusak Islam, melainkan muslim sendiri perlu memperhatikan sikapnya untuk terus menebar rahmat. Ini berangkat dari surah Al-Anbiya, ayat 107:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Artinya: dan kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk alam semesta.
Melalui ayat ini Syekh Ali Jum’ah menjelaskan bahwa kasih sayang dalam Islam itu mencakup segala hal tanpa perlu memandang identitas apa pun. Rahmat dalam Islam beliau istilahkan dengan kebebasan dan keluasan dalam memilih. Rahmat dalam kaitannya dengan kehidupan non muslim adalah keamanan dan ketenteraman dalam hidup mereka.
Secara lebih spesifik beliau melanjutkan bahwa ayat di atas mendorong muslim untuk menyebar kasih sayang dalam agamanya dan menjadikannya sebagai agama itu sendiri. Tidak seharusnya muncul perkataan dan perbuatan yang mengandung unsur zalim dan menyakiti.
Jika perang adalah anjuran Islam dan membunuh mereka yang tidak seiman adalah wajib maka apa arti rahmat yang harus terealisasi dalam setiap aktivitas muslim. Hal ini penting dipahami oleh umat Islam Indonesia sebagai warga negara yang memiliki karakteristik plural. Hal ini karena konflik akan selalu menghantui masyarakat plural. Terlebih jika keberagaman ini berkaitan dengan keimanan, di mana ia merupakan ranah paling sensitif di antara identitas-identitas yang lain.
Islam Payung Perbedaan
Selain itu agama perlu hadir di sini. Saya punya prediksi bahwa perjalanan peradaban dari masa ke masa ini adalah untuk satu hal, yaitu perdamaian dan menekan terjadinya konflik. Peradaban suku, misalnya—sebuah peradaban paling primitif di antara yang lainnya—ia adalah untuk menekan konflik antar individu.
Namun, ini belum selesai, sebab konflik antarsuku masih terjadi. Bergantilah pada peradaban imperium—suatu peradaban yang memiliki cakupan lebih luas dari peradaban suku. Konflik antarsuku dengan hadirnya peradaban ini bisa ditekan, namun konflik antar imperium adalah masalah baru. Sehingga hadirlah peradaban kolonialisme.
Secara sekilas ia adalah perang, namun ia adalah laku menjajah bukan menaklukkan. Orientasi penjajahan adalah menguasai teritorial dan sistem pemerintahan serta perekonomiannya, bukan menguasai fisik serta memperbudaknya. Namun, tetap saja pertumpahan darah masih terjadi. Hadirlah nation state (negara bangsa) dengan sistem blok-blok antara negara. Dan, ternyata masih terjadi konflik antar blok-blok ini.
Perang Palestina adalah contoh konkretnya. Hadirnya global goverment, suatu sistem pemerintahan global yang menyetir aktivitas semua manusia di bumi, tidak juga menunjukkan taringnya dalam meredam konflik. Hadirnya SDG’s menjadi pembeda sistem ini dengan peradaban-peradaban sebelumnya. Namun, faktanya nilai-nilai yang menjadi ciri khas ini tidak terlaksana secara maksimal.
Kegagalan ini bukan salah sistem ataupun nilai yang mereka pegang, melainkan salah manusia tidak memaksimalkan penerapannya, atau bahkan diabaikan sama sekali. Dengan demikian siapa sebenarnya yang mampu merealisasikan nilai-nilai ini—setelah beberapa peradaban telah mencoba untuk mewujudkannya.
Mungkinkah agama? Jika benar, tentu bukan agama tertentu, melainkan agama jenis baru yang menyepakati suatu nilai-nilai untuk menjadi pedoman. Bagi saya, itu mungkin saja. Hal ini karena agama abstrak sama sekali. Ia adalah nilai-nilai, yang pasti dan tak disentuh oleh kepentingan apa pun. Tak sama dengan nagara ataupun pemerintahan global, di mana keduanya masih memiliki orientasi duniawi yang melibatkan nafsu manusia.
Dan hal ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari Islam. Islam hadir, meskipun dengan perang, tetapi ia membawa perdamaian untuk mereka yang mau damai dan membawa kebinasaan untuk mereka yang mengganggu. Ini bisa kita lihat ayat-ayat rahmat di atas, di samping juga sebab diwajibkannya perang, yaitu kemungkaran dan permusuhan. Jika demikian, Islam bisa menjadi patokan utama dalam menerapkan nilai-nilai ini untuk kemudian disepakati sebagai prinsip bersama.