Pesantren bisa dikatakan satu-satunya lembaga pendidikan yang saya kira tetap konsisten dalam mempertahankan karakter dan corak pendidikan yang cukup adaptif dan bernuansa local wisdom. Walaupun di sisi lain, pesantren sering kali masih dipandang sebelah mata, dengan konsep pendidikan yang begitu-begitu saja. Padahal, dari dulu sampai sekarang masih tetap sama; kurikulum yang dipakai memperhatikan kultur berbasis keagamaan.
Tipologi tersebutlah yang membedakan antara lembaga pendidikan formal lainnya dengan pesantren. Berangkat dari karakter itu, pesantren saya kira cukup mempunyai relevansi tanpa adanya intervensi dalam melakukan rekonstruksi. Berbeda apabila masih ada kepentingan lembaga yang masih diintervensi negara, misalnya dengan melakukan restorasi kepentingan dan keinginan sebagaimana pemerintah inginkan, bukan kebutuhan pesantren sendiri.
Memang, di sisi lain, pesantren bukan suatu yang anti terhadap regulasi yang diberikan pemerintah, akan tetapi di sebagian lembaga masih berpegang teguh dengan tidak adanya intervensi oleh pihak yang rentan berbau kepentingan, khususnya pemerintah. Jadi boleh-boleh saja ada suatu kondisi, di mana pemerintah harus ikut campur, seperti halnya untuk kesejahteraan pengajar, pembangunan infrastuktur, dan pengembangan lainnya.
Namun, itu bukan suatu hal yang gampang direalisasikan. Buktinya, dengan hadirnya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Dana Abadi Pesantren masih manuai pro dan kontra. Karena hal itu dianggap bagian iming-iming pemerintah untuk bisa mengintervensi pesantren lewat UU Pesantren yang dibuatnya. Situasi saat ini memang dipandang perlu adanya sosialiasi untuk dapat mengedukasi dan menjelaskan, bahwasanya itu bukan bagian dari pemerintah dalam mengintervensi kepentingan dirinya, tapi memang murni untuk kesejahteraan pesantren sendiri.
Pesantren dalam Pusaran Zaman
Perkembangan teknologi dan arus zaman begitu cepat, sehingga manusia dipaksa untuk tetap bisa adaptasi dengan segala kondisi yang sedang dialaminya, sebagaimana di katakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Artinya unsur dinamis seharusnya harus selalu ada dalam diri manusia.