Di era digital, suara setiap orang dapat dengan mudah terdengar melalui media sosial. Sayangnya, kemudahan ini sering kali tidak diimbangi dengan kedalaman literasi dan kesadaran sejarah. Fenomena ini tampak jelas ketika muncul gelombang kritik dari sebagian netizen terhadap pesantren dan para kiai. Lembaga dan figur yang justru memiliki jasa besar dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Tragedi robohnya Pondok Pesantren Al-Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur pada akhir September 2025 menyisakan duka mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya keluarga santri yang menjadi korban dan pihak pondok pesantren. Bangunan berlantai empat yang tengah dalam masa pengecoran itu mendadak ambruk pada saat santri tengah melaksanakan sholat asyar di lantai dua, dan naasnya tragedi ini menelan banyak korban.

Jagat maya ramai membincangkan tragedi pilu ini, mulai dari evaluasi teknis pembangunan hingga keadilan yang perlu ditegakkan. Namun, alih-alih fokus pada kedua hal tersebut, netizen justru mengkritik keberadaan pondok pesantren yang dianggap tidak memiliki peran dan jasa terhadap bangsa.
Kritik semacam itu tentu patut disayangkan, karena menggeneralisasi satu tragedi menjadi vonis terhadap seluruh pesantren di Indonesia. Padahal, pesantren memiliki peran besar dan jasa yang tidak bisa dihapus dari sejarah bangsa.
Bahkan baru-baru ini mencuat satu postingan dari salah satu stasiun televisi swasta yang cukup besar, di mana di dalamnya menampilkan sikap santri kepada kiai dan ibu nyai yang dianggap sebagai bentuk perbudakan bahkan narasinya mengandung unsur provokatif.
Jika melihat fakta sejarah, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam secara komprehensif dengan tujuan membentuk karakter dan akhlak santri serta memberikan ruang edukasi yang bercorak kemandirian. Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar, akan tetapi juga sebagai wadah yang mengajarkan nilai-nilai moral dan sosial kepada para santri. Salah satu tokoh pesantren yang paling berpengaruh adalah kiai.
Kiai dalam tradisi pesantren tidak hanya sebagai pengajar kitab kuning, akan tetapi juga pembimbing spiritual dan sosial masyarakat. Mereka menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, keadilan, dan kasih sayang. Kritik tanpa dasar terhadap kiai sama saja dengan mengabaikan warisan moral dan intelektual bangsa yang telah menjaga keutuhan sosial selama berabad-abad.
Ironisnya, di tengah derasnya arus digital, sebagian netizen hanya menilai dari potongan video, caption provokatif, atau berita sensasional tanpa menelusuri konteks dan fakta sejarah yang sebenarnya. Akibatnya, ruang publik digital yang seharusnya menjadi ajang diskusi sehat malah berubah menjadi arena caci maki.
Fenomena ini menunjukkan munculnya kelompok “netizen reaktif”, yaitu mereka yang dengan mudah menyerap informasi tanpa verifikasi dan langsung melontarkan kritik tajam terhadap pesantren maupun kiai, seolah melupakan jasa besar keduanya dalam perjalanan sejarah bangsa.
Mengkritik bukan hal yang salah, bahkan penting dalam kehidupan demokratis. Namun, kritik yang tidak berlandaskan nilai-nilai kepedulian, bahkan kritik tanpa dasar yang kuat, akan menimbulkan kesalahpahaman publik serta merusak citra yang dibangun oleh pesantren selama berabad-abad lalu. Sebaliknya, kritik yang baik harus lahir dari pengetahuan dan niat membangun. Sebelum menilai pesantren dan kiai, seharusnya masyarakat, terutama generasi muda, memahami sejarah dan kontribusinya terhadap bangsa.
Salah satu hal yang perlu diperkuat adalah literasi sejarah, di mana semua individu belajar bagaimana sejarah itu berjalan, membentuk sebuah peradaban. Selain itu, tujuan utamanya adalah agar kita tidak mudah terseret opini dangkal, tidak menyerap informasi secara suka rela tanpa mengoreksi benar atau tidaknya.
Begitu pula adab digital, seharusnya menjadi landasan utama dalam menyampaikan pendapat di ruang maya, kesadaran untuk menahan diri, memverifikasi informasi, dan menghormati tokoh serta lembaga keagamaan yang telah berjasa. Tanpa adab digital, media sosial akan kehilangan fungsinya sebagai ruang dialog dan berubah menjadi arena saling menjatuhkan. Bahkan parahnya Mengkritik tanpa membaca sejarah sama saja seperti menilai pohon tanpa tahu akar yang menumbuhkannya.
Pesantren dan kiai bukan entitas yang sempurna, tetapi mereka telah menjadi bagian penting dari perjalanan panjang bangsa Indonesia. Kritik sah-sah saja disampaikan, tapi hendaknya dilandasi pengetahuan dan rasa hormat. Sudah saatnya kita semua belajar kembali, menata pengetahuan yang tak sempak kita amalkan atau bahkan kita lupakan sebab terlena oleh gawai.
Mari belajar kembali bukan hanya dari balik layar, akan tetapi dari lembar sejarah yang mencatat kenyataan betapa pesantren dan kiai adalah tiang pendidikan moral bangsa yang namanya tak pernah lekang oleh waktu dan tetap hidup bersama panji-panji pendidikan.