Gurunya para ulama Nusantara dikenal dengan nama Kiai Sholeh Darat. Nama lengkapnya adalah KH Muhammad Sholeh bin Umar as-Samarani. Beliau merupakan putra dari Kiai Umar yang merupakan seorang ulama, pejuang, dan penasihat keagamaan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.
Nama asli Kiai Sholeh Darat sebagaimana yang diberikan oleh orang tuanya adalah Muhammad Sholeh. Namun, dalam kitab-kitab karangan beliau sering ditulis Muhammad Sholeh bin Umar as-Samarani.
Kiai Sholeh Darat Semarang yang populer dipanggil Mbah Sholeh Darat ini merupakan sosok ulama besar yang hidup di kisaran akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia menjadi ulama, pejuang, pujangga, dan wali karena keluasan ilmu dan laku kreativitasnya yang tak pernah padam.
Kealiman dan kedalaman ilmunya dibuktikan dengan perannya sebagai guru para ulama terkemuka di Nusantara. Tercatat sejumlah ulama’ besar Nusantara pernah berguru kepadanya, di antaranya pendiri Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH Hasyim ‘Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan. Selain dua tokoh ini, Kiai Ihsan Jampes yang syarat dengan segudang karya juga tak luput dari catatan sejarah sebagai murid dari Kiai Sholeh Darat.
Dakwah Sufistik
Kiai Sholeh Darat dalam berdakwah sangat akomodatif dan apresiatif terhadap budaya-budaya lokal, hal ini karena di setiap pemikirannya sangat kental dengan nuansa sufisme. Khazanah sufisme inilah yang melandasi pemikiran Kiai Sholeh Darat mampu bersikap toleran dengan tradisi lokal dan pola pemikiran ini pun juga sudah ditunjukkan oleh para wali dan ulama Nusantara lainnya.
Merupakan hal yang sangat penting dalam berdakwah yaitu memperhatikan dan mencermati kultur masyarakat yang ada. Jika tidak, maka dakwah akan menjadi sulit diterima. Secara kultural, masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang mempunyai adat istiadat dan tradisi yang sudah dipraktikkan dan mengakar selama bertahun-tahun secara turun temurun. Sehingga, tradisi-tradisi ini sudah menjadi sistem nilai dan khazanah lokal yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat Jawa.
Pada abab ke-19 masa di mana Kiai Sholeh Darat hidup, masyarakat Jawa sangat kental dengan budayanya, lebih-lebih di daerah pedalaman yang masih belum tersentuh ajaran Islam. Ritual-ritual yang mereka lakukan seperti sedekah bumi, selamatan, peringatan tujuh hari bagi orang yang telah meninggal sering dilakukan secara berlebihan dan cenderung mengarah pada tujuan yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Melalui fenomena itu, Kiai Sholeh Darat berusaha meluruskan tradisi-tradisi tersebut dengan mengisi nilai-nilai Islam. Dengan demikian, nilai-nilai Islam dapat diterima tanpa menghapus tradisinya sehingga tak keluar dari koridor syariat.
Misal, dalam hal sedekah bumi, Kiai Sholeh Darat mengajarkan bahwa laku tersebut harus murni diniatkan karena Allah Ta’alaa semata, bukan dilakukan untuk pemujaan terhadap jin maupun danyang (penunggu desa). Jika sedekah bumi itu dilakukan untuk memuja jin atau danyang, maka hal itu sudah termasuk kekufuran. Begitu pula praktik ritual lainnya yang dilakukan untuk memuja selain Tuhan.
Terkait hal ini, Kiai Sholeh Darat dalam kitabnya Majmu’ah Syari’ah al-Kafiyah lil ‘Awam halaman 24 menyatakan: “Utawi Kufure wong ahli pedesan iku pada uga gawe shodaqoh bumi neja hurmat danyange desa, kono iku haram. Balik lamun neqodake olehe hurmat maring danyang kerana iku danyang ingkang ngerekso desa kene lan kang aweh manfaat maring wong desa kene lan kang bahu reksa sawah-sawah utawa liyane, maka lamun mengkono i’tiqode maka kufur, kerana wajib atas mukallaf neqodake setuhune makhluq kabeh jin, manungsa, setan, malaikat, iblis lan kabeh hewan-hewan iku apes ora bisa gawe apa-apa yen ora kelawan qudrat-irodahe Allah. Lamun jin, setan, danyang bisa gawe mudharat maring manungsa nyekti ora keliwatan manungsa den pateni kabeh kerana manungsa iku setrune setan.”
Artinya: “Adapun kufurnya masyarakat pedesaan itu seperti halnya membuat sedekah bumi dengan tujuan untuk menghormati danyang (penunggu) desa, maka hal seperti itu haram. Penghormatan terhadap danyang itu apabila dilakukan karena didorong oleh keyakinan bahwa danyang tersebut adalah yang menjaga sebuah desa dan yang memberi manfaat kepada orang desa tersebut dan yang menguasai sawah-sawah atau hal yang lain, maka itu termasuk kufur. Sebab, wajib terhadap mukallaf meyakini bahwa seluruh makhluk seperti jin, manusia, setan, malaikat, iblis dan seluruh binatang itu tak berdaya apa-apa kecuali atas kodrat dan iradatnya Allah. Apabila jin, setan, danyang bisa memberikan mudharat kepada manusia, pastinya seluruh manusia sudah mati semua karena dibunuh oleh setan, jin dan danyang tersebut, sebab manusia itu musuhnya setan.”
Karenanya, dakwah yang dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat justru menunjukkan sebuah usaha untuk mengimplementasikan semangat yang oleh Gus Dur disebut Pribumisasi Islam, yaitu semangat mempertemukan nilai-nilai Islam dengan spirit budaya lokal, sehingga Islam yang disebarluaskan oleh Kiai Sholeh Darat tidak memiliki ambisi membongkar sistem nilai yang ada dan menggantinya dengan Islam, melainkan menjadikan Islam sebagai unsur komplementer dari sistem yang sudah ada.
Aksara Pegon sebagai Media Dakwah
Aksara pegon merupakan produk kultural masyarakat Islam di Jawa dalam rangka mentransmisikan ajaran-ajaran Islam melalui teks dengan pola pengembangan teks-teks Arab ke dalam bahasa yang dapat dipahami masyarakat Jawa.
Kiai Sholeh Darat dikenal sebagai salah satu ulama yang cukup produktif dan banyak menulis karya-karyanya dengan aksara pegon (tulisan arab berbahasa Jawa). Bahkan, dalam diskursus tasawuf, beliau disebut-sebut sebagai ulama pertama yang mensyarahi kitab al-Hikam karya Ibn ‘Athoillah as-Sakandari dengan aksara pegon.
Ada beberapa pertanyaan yang muncul kemudian, kenapa Kiai Sholeh Darat dalam menuliskan teks-teks keislaman kebanyakan menggunakan aksara pegon, bukan bahasa Arab? Bukankah beliau sempat tinggal lama di Mekkah?
Di abad ke-19, ada tiga ulama besar di Mekkah yang terkenal dengan karyanya, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani, Syekhona Kholil Bangkalan, dan Kiai Sholeh Darat. Akan tetapi, Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekhona Kholil Bangkalan dikenal sebagai pengarang kitab yang ditulis dengan bahasa Arab, beda halnya dengan Kiai Sholeh Darat.
Pada abad ke-19, kondisi masyarakat Jawa masih sangat awam dan tingkat pemahaman terhadap agama Islam tergolong rendah. Hal ini dipengaruhi dengan penjajahan yang merajalela. Rezim penjajah kala itu mengawasi ketat pemikiran pribumi, termasuk tingkat pemahaman warga pribumi terhadap agamanya sehingga meraka mengekang masyarakat pribumi untuk mendalami Islam.
Atas dasar itulah, Kiai Sholeh Darat membuat sebuah media dan strategi dakwah dengan cara mentransformasikan Islam ke dalam konteks bahasa lokal. Dengan aksara pegon, beliau berharap masyarakat Jawa bisa lebih mudah dalam memahami ajaran-ajaran agama Islam.
Tercatat, di halaman 149 buku ini, disebutkan ada sekitar 12 kitab karya Kiai Sholeh Darat yang masih bisa diselamatkan dan terus dicetak secara masif, dikaji, dan diteliti. Berikut nama-nama kitabnya: Kitab Munjiyat, Matan al-Hikam, Majmu’ah Syari’ah al-Kafiyah lil ‘Awam, Lathaif at-Thaharah wa Asrar as-Shalah, Manasik al-Hajj Wa al-Umroh, Kitab Fasholatan, Sabil al-‘Abid ‘ala Jauharat at-Tauhid, al-Mursyid al-Wajiz, Hadits al-Mi’roj, Kitab al-Mahabbah wa al-Mawaddah fi Tarjamah Qaul al-Burdah fi al-Mahabbah wa al-Madh ‘ala Sayyidil Mursalin, Faidh ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Malik ad-Dayyan, Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Hidayat al-Atqiya’ ila Thariq al-Auliya’.
Terakhir, tentu jasa besar Kiai Sholeh Darat dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam tak bisa terlupakan. Sebab, dengan karya-karyanya masyarakat Jawa semakin banyak tahu tentang Islam sampai ada ungkapan dari sebagian orang bahwa seandainya tidak ada Kiai Sholeh Darat, bisa jadi masyarakat Jawa tidak akan memahami ajaran Islam dan tidak akan mengamalkan ritual-ritual keislaman.
Pernyataan semacam ini dapat dipahami bahwa sumbangsih pemikiran dan dakwah Kiai Sholeh Darat melalui kitab-kitab beraksara pegon dan berbahasa Jawa itu mempunyai dampak yang cukup besar terhadap pemahaman masyarakat Jawa terhadap Islam.
Data Buku
Judul Buku: Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M
Penulis: Taufiq Hakim
Penerbit: Institute Of Nation Development Studies (INDeS)
Tahun Terbit: Cetakan I, November 2016
Tebal: xxi + 242 Halaman; 15 x 22 cm
ISBN: 978-602-74816-8-8
Peresensi: Alfan Jamil