Membayangkan Kitab Ibnu Rusyd Dikaji di Pesantren

21 views

Di pesantren, bulan Ramadan bukan hanya menjadi waktu untuk meningkatkan ibadah, tetapi juga momen istimewa untuk memperdalam ilmu agama. Salah satu tradisi yang sudah mengakar adalah ngaji pasanan, yaitu kajian kitab kuning secara intensif selama bulan puasa.

Santri dari berbagai daerah berkumpul di pesantren untuk mengikuti pengajian yang berlangsung dari subuh hingga malam hari. Kitab yang dikaji pun beragam, mulai dari fikih, tafsir, akhlak, hingga tasawuf. Kitab-kitab karya ulama besar seperti Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, Fathul Mu’in dalam ilmu fikih, atau Al-Hikam dalam bidang tasawuf sering menjadi rujukan utama.

Advertisements

Dalam konteks ini, membayangkan kitab-kitab Ibnu Rusyd dikaji di pesantren saat Ramadan bisa menjadi wacana yang menarik. Santri yang sudah terbiasa dengan kitab fikih dan tasawuf bisa diperkenalkan dengan pemikiran Ibnu Rusyd yang lebih filosofis. Ini bisa menjadi tambahan wawasan yang memperkaya diskusi, terutama dalam memahami hubungan antara akal dan wahyu.

Jika tradisi ngaji pasanan tetap mempertahankan kitab-kitab klasik yang sudah umum dikaji, tetapi sekaligus membuka ruang bagi pemikiran Ibnu Rusyd, maka pesantren akan semakin berkembang menjadi pusat keilmuan yang tidak hanya tekstual, tetapi juga rasional. Ini bisa menjadi langkah maju bagi dunia pesantren dalam menghadapi tantangan zaman modern.

Al-Ghazali vs Ibn Rusyd 

Pesantren memiliki peran penting dalam menjaga dan mengembangkan tradisi keilmuan Islam. Sejak ratusan tahun, pesantren telah menjadi pusat pembelajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang ditulis oleh ulama besar seperti Imam Al-Ghazali, Imam Nawawi, dan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Dari sekian banyak kitab yang diajarkan, karya-karya Al-Ghazali memiliki tempat yang istimewa.

Namun, bagaimana jika kitab-kitab Ibnu Rusyd juga mendapatkan perhatian yang sama di pesantren? Ibnu Rusyd, seorang ulama dari Andalusia, mengambil pendekatan yang berbeda. Dalam bukunya Tahafut at-Tahafut, ia membantah argumen Al-Ghazali dan membela filsafat Aristotelian sebagai bagian dari Islam. Ia berpendapat bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tetapi justru saling melengkapi. Sayangnya, pemikiran Ibnu Rusyd lebih banyak dipelajari di Barat daripada di dunia Islam sendiri.

Lalu, mengapa pesantren lebih akrab dengan Al-Ghazali daripada Ibnu Rusyd? Apakah karena Ibnu Rusyd dianggap terlalu filosofis dan rasional, sehingga tidak sesuai dengan tradisi Islam yang berkembang di Timur? Ataukah ada faktor sejarah yang membuat pemikirannya kurang diterima?

Karya Ibnu Rusyd Tak Populer

Ada beberapa alasan mengapa kitab-kitab Ibnu Rusyd kurang mendapat tempat di pesantren.

Pertama, perbedaan pendekatan dalam memahami Islam. Pesantren lebih mengutamakan pendekatan tekstual dalam memahami agama. Dalam tradisi ini, kitab-kitab fikih, tafsir, dan tasawuf yang bersumber dari ulama seperti Al-Ghazali, Imam Syafi’i, atau Imam Nawawi lebih mudah diterima. Sementara itu, pemikiran Ibnu Rusyd lebih bersifat filosofis dan berupaya mencari titik temu antara akal dan wahyu.

Bagi sebagian kalangan, pendekatan Ibnu Rusyd dianggap berisiko karena membuka ruang bagi rasionalisme yang berlebihan. Beberapa ulama khawatir bahwa santri yang terlalu mendalami filsafat akan lebih mengutamakan akal daripada wahyu, yang bisa mengarah pada pemikiran sekular.

Kedua, dominasi pemikiran Al-Ghazali dalam dunia Islam. Al-Ghazali memiliki pengaruh besar dalam membentuk tradisi intelektual Islam. Ia berhasil menggabungkan fikih, tasawuf, dan teologi dalam satu sistem pemikiran yang mudah dipahami dan diterapkan. Di dunia pesantren, kitab-kitabnya menjadi rujukan utama, sehingga pemikiran yang bertentangan dengan Al-Ghazali sering kali dianggap tidak relevan.

Sebaliknya, Ibnu Rusyd lebih banyak dikenal sebagai seorang filsuf daripada seorang ulama fikih. Pemikirannya lebih berkembang di dunia akademik Barat daripada di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional. Ini membuat namanya kurang dikenal dibandingkan Al-Ghazali, meskipun ia juga seorang ulama besar dalam bidang fikih Maliki.

Ketiga, pengaruh sejarah dan politik. Selain faktor intelektual, ada juga faktor sejarah dan politik yang mempengaruhi penyebaran pemikiran Ibnu Rusyd. Setelah kejatuhan peradaban Islam di Andalusia, banyak karya-karya Ibnu Rusyd yang justru dikembangkan oleh para pemikir Eropa, sementara di dunia Islam sendiri pemikirannya kurang diteruskan.

Sementara itu, pemikiran Al-Ghazali lebih diterima karena selaras dengan pendekatan tasawuf yang berkembang di dunia Islam Timur. Ini semakin memperkuat dominasi kitab-kitabnya di pesantren, sementara karya-karya Ibnu Rusyd tetap berada di pinggiran wacana Islam tradisional.

Jika Kitab Ibnu Rusyd Dikaji di Pesantren

Jika pesantren mulai mengkaji kitab-kitab Ibnu Rusyd, tentu akan ada perubahan dalam cara santri memahami Islam. Beberapa kemungkinan dampak positif. Pertama, meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Sebab, Ibnu Rusyd dikenal sebagai pemikir yang sistematis dan rasional. Mengkaji kitab-kitabnya dapat membantu santri mengembangkan keterampilan berpikir kritis, logis, dan analitis. Ini sangat penting dalam menghadapi tantangan intelektual di era modern, di mana Islam sering kali dipertanyakan oleh berbagai pemikiran sekular dan ilmiah.

Kedua, memperkuat dialog antara Islam dan ilmu pengetahuan. Sebab, Salah satu warisan terbesar Ibnu Rusyd adalah upayanya untuk menjembatani Islam dan ilmu pengetahuan. Ia meyakini bahwa agama dan akal tidak bertentangan, melainkan harus berjalan beriringan. Jika kitab-kitabnya dikaji di pesantren, santri akan lebih siap berdialog dengan dunia modern tanpa harus merasa terancam oleh sains dan filsafat.

Ketiga, mencegah polarisasi dalam dunia Islam. Sebab, selama ini ada kesan bahwa Islam hanya memiliki dua kutub pemikiran: yang tekstualis dan yang rasionalis. Dengan mengkaji pemikiran Ibnu Rusyd, santri akan memahami bahwa Islam memiliki spektrum pemikiran yang luas, dan tidak harus memilih antara wahyu atau akal. Ini dapat mencegah terjadinya polarisasi antara kaum konservatif dan kaum progresif dalam Islam.

Keempat, memperkaya tradisi keilmuan pesantren. Sebab, pesantren adalah tempat berkembangnya ilmu-ilmu Islam. Jika kitab-kitab Ibnu Rusyd mulai dikaji, ini akan memperkaya tradisi keilmuan pesantren dengan sudut pandang yang lebih luas. Santri akan belajar tidak hanya tentang hukum Islam dan tasawuf, tetapi juga tentang filsafat, logika, dan hubungan antara agama dan sains.

Membayangkan kitab-kitab Ibnu Rusyd dikaji di pesantren bukanlah sesuatu yang mustahil. Justru, ini dapat menjadi langkah maju dalam memperkaya wawasan santri dan membuka ruang bagi dialog yang lebih luas antara Islam dan dunia modern. Jika Al-Ghazali telah lama menjadi rujukan utama dalam pendidikan Islam tradisional, mengapa tidak membuka ruang bagi Ibnu Rusyd? Dengan demikian, pesantren tidak hanya melahirkan ulama yang memahami agama secara mendalam, tetapi juga intelektual Muslim yang siap menghadapi tantangan zaman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan