Istilah literasi secara umum mengacu pada keterampilan membaca dan menulis. Dalam artian, seorang literat merupakan seseorang yang telah memiliki penguasaan keterampilan membaca dan menulis. Mengapa umum dikatakan membaca dulu baru menulis? Sebab, seseorang yang hendak menulis, tentu akan melakukan kegiatan membaca terlebih dahulu. Sederhananya, orang yang hendak memberi, harus memiliki terlebih dahulu.
Literasi menjadi bagian tak terpisahkan dari integritas keilmuan akademisi, termasuk pesantren. Sebagai lembaga yang tidak terlepas dari pembelajaran mendengar, membaca, dan menulis, menjadi sebuah keharusan bagi pondok pesantren agar literasi mampu diinternalisasikan di kalangan para santri. Sebab pada prinsipnya, literasi menjadi budaya pesantren yang patut diapresiasi dan dipertahankan. Di samping itu, dengan literasi pula, dakwah pesantren mampu tersampaikan secara relevan dan fleksibel.
Pesantren mampu menghasilkan produk literasi karya ulama sebagai bukti fisik literasi pesantren, baik berupa manuskrip maupun kitab kuning yang dijadikan sebagai materi pembelajaran dan kajian kepesantrenan. Sebagai contoh, kitab populer karya ulama Nusantara, al-Amṡilah al-Taṣrīfiyyah. Kitab tersebut disusun oleh KH Muhammad Ma’shum saat usianya masih belia, tepatnya usia 19 tahun. Adapun, Syeikh Ihsan Jampes menekuni bidang kepenulisan pada usia 33 tahun. Sudah banyak pakar yang mengakui kedalaman karya-karyanya, salah satunya ialah kitab Sirāj al-Ṭālibīn, syarah dari kitab karya Imam Ghozali yang berjudul Minhāj al-‘Âbidīn. Ini merupakan “ayat-ayat pesantren” yang wajib dilestarikan oleh para santri.
Tradisi tulis-menulis dalam catatan sejarah memang terbilang telah berlangsung lama, dan menjadi titik kemajuan peradaban Nusantara. Pada abad ke-15-16, kegiatan tulis-menulis naskah sesuai kondisi dulu ditulis dengan huruf pegon berlangsung di Pesantren Giri. Sebab konflik internal, Pesantren Giri kemudian mengalami kemunduran. Setelahnya, dilanjutkan oleh Pesantren Kalidangu Demak, kemudian pada akhirnya mengalami metamorfosis hingga kini.
Melihat kondisi sekarang, di mana teknologi dan informasi terus mengalami kemajuan, kekuatan literasi dirasakan sedikit demi sedikit mulai surut. Di samping dampak positif yang diberikan, seperti mudahnya bagi kalangan pesantren untuk mencari sumber literatur keislaman, dan menyebarkan dakwah di dunia maya, kemajuan teknologi dan informasi ini juga memberikan dampak negatif pula jika tidak disikapi dengan bijak. Ambil saja contoh yang marak terjadi, di mana kutipan-kutipan referensi kitab banyak dimuat di beberapa postingan. Meski tidak dapat dipukul rata, imbasnya, orang-orang menjadi malas membuka kitab dan membaca secara keseluruhan untuk memahami redaksi yang tertera. Atau dengan kata lain, membaca setengah-setengah.