Menapaki Atsar Bisri Effendy

21 views

Kendati tanggal 17 Agustus diperingati sebagai perayaan hari Kemerdekaan Indonesia dan hari jadi jejaring duniasantri (JDS)—sebagaimana saya telah uraikan pekan lalu (12/8/2023). Namun demikian, 17 Agustus bukanlah tanggal yang membahagiakan sepenuhnya. Sebab, di tanggal ini pula terdapat momen berkabung. Tiga tahun lalu (17/8/2020), Bisri Effendy, Ketua Dewan Pembina Yayasan jejaring duniasantri, wafat, kembali keharibaan Sang Pencipta.

Kabar duka ini, sebenarnya sangat mengagetkan. Banyak yang tidak menyangka dan tak percaya, khususnya keluarga jejaring duniasantri. Pasalnya, di siang harinya pukul 10.00-14.00 WIB, Bisri Effendy bersama pengurus JDS me-launching dua buku karya para santri; Tuhan Maha Rasis? dan Dan Sepatu pun Menertawakanku, dan melakukan pemotongan tumpeng, bentuk syukuran ulang tahun JDS. Pak bisri, begitu biasa dipanggil para pengurus JDS, kala itu kondisinya tampak bugar, wajahnya penuh sumringah, dan banyak senyum. Tak ada tanda apapun.

Advertisements

Apalah daya, Tuhan berkehendak lain. Pak Bisri, setelah rangkaian acara itu, dijemput oleh malaikat Izrail dan berpulang ke rahmatullah. Peribahasa “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, orang mati meninggalkan nama”, betul adanya. Rekam jejak kontribusi Bisri Effendy begitu banyak dan kentara. Siapa sangka, hingga usia yang terbilang sepuh, alih-alih istirahat menikmati masanya, ia tetap produktif mengembangkan gerakan literasi (intelektual).

Bersama empat rekan lainnya; Zastrouw Ngatawi, Cak Tarno (Founder Cak Tarno Institut/CTI), Mukhlisin, dan Daniel K, Bisry Effendi mendirikan Yayasan bernama jejaring duniasantri. Di sini, ia banyak menularkan ilmunya. Ada dalam bentuk tulisan, hingga mengartikulasikan saat jadi pembicara pendidikan dan latihan (diklat) kepenulisan kalangan santri. Pak Bisri juga dengan penuh kerelaan menawarkan lantai dua rumahnya, yang bercat merah, untuk dijadikan sekretariat JDS (hlm. 170).

Sejak muda, Pak Bisri memainkan peran sebagai peneliti yang menggeluti diskursus keagamaan dan kebudayaan—terutama kebudayaan orang-orang yang terpinggirkan. Ia juga tampil sebagai mentor, khususnya bagi yang berlatar pendidikan pesantren, banyak memberi pemahaman bagaimana melakukan penelitian dengan pendekatan ilmu sosial kritis. Hingga kemudian, lulusan Leiden University, Netherlands ini mendapat penyematan sebagai guru riset bagi banyak anak muda Nahdlatul Ulama (NU).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan