Buku ini membicarakan tentang dakwah sebagaimana diterjemahkan oleh UINSA, salah satu kampus ternama yang berada di kota Surabaya. UINSA sendiri merupakan kepanjangan dari Universitasda Islam Negeri Sunan Ampel. Dalam konteks dakwah di sini, UINSA akan menjadi garda terdepan di dalam menguak akar terminologi gerakan dakwah moderat dan menghidupkan kembali spirit dakwah wasathiyah tersebut, yang diinternalisasikan ke dalam tata keilmuan dan kelembagaan di UINSA.
Sebagai kampus yang berada di Surabaya, UINSA merasa bahwa dakwah wasathiyah merupakan tanggung jawabnya sebagai institusi yang mana di dalamnya terdapat sebuah fakultas dakwah. Selanjutnya, dalam kampus tersebut ber-tabarruk kepada sesepuh Waliyullah, Sunan Ampel, dengan menyelipkan nama beliau di bagian belakang. Tujuannya, agar kampus tersebut yang di dalamnya terdapat beberapa para kiai, santri, cendekiawan terkemuka, memiliki ketersambungan sanad dengan Rasulullah SAW, baik secara keilmuan, pemikiran maupun gerakan. Dengan demikian, warisan dakwah wasathiyah itu dipandang perlu dijaga agar tidak luntur dari UINSA.
Buku ini terdiri dari lima bab. Di bagian bab pertama diperkenalkan biografi Sunan Ampel. Mulai dari nasabnya, dapat diketahui bahwa beliau merupakan keturunan dari Rasulullah SAW yang ke-21 jika dilihat pada versi naskah Negarakerthabumi (Wangsakerta Cirebon tahun 1695).
Menurut versi silsilah Sunan Giri, beliau keturunan Rasulullah SAW yang ke-22. Sebagai bagian dari keturunan Rasulullah, tentunya menjaga keotentikan dakwah Islam menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab tersebut dapat dibuktikan melalui usahanya mendirikan pesantren di Ampeldenta.
Sunan Ampel mendidik para santrinya dengan penuh perhatian dan keteladanan. Beliau mengajarkan arti penting sebuah kehidupan yang harus dibingkai dengan nuansa keagamaan, dan dipupuk dengan fondasi tasawuf (akhlakul karimah).
Melalui cara pandang serta pendekatan tersebut, Sunan Ampel berhasil melahirkan kader-kader santri ideal: ada Sunan Kudus, yang cakap di bidang fikih; Sunan Gunung Jati, yang cakap menjadi panglima perang; ada kader negarawan, Raden Fatah, misalnya; kader waliyullah, dan lain sebagainya. Dari tangan para santri inilah kemudian masyarakat Nusantara–sekarang Indonesia–berhasil memeluk agama Islam dengan damai.
Gerakan dakwah wasathiyah yang diajarkan Sunan Ampel tersebut merupakan sebuah gerakan dakwah yang terkenal unik dan menarik. Karena, pada saat itu, sebelum kehadiran Sunan Ampel dan tentunya dengan para santri yang lain, yang nantinya akan menjadi waliyullah yang juga ikut membumikan agama Islam, banyak daripada orang-orang yang datang dari Arab bisa dibilang belum berhasil mengislamkan masyarakat Nusantara.
Menurut Kiai Agus Sunyoto, Nusantara dulunya terkenal angker. Berkah karomah Kiai Subakir sehingga beliau bisa menetralisasi serta bisa mengusir para dedemit tersebut pergi menjauh dari Nusantara dan tidak lagi mengganggu perjalanan dakwah mereka.
Selanjutnya, mengapa dakwah wasathiyah begitu penting? Di buku ini dijelaskan, seandainya yang ditampilkan meniru cara lama dalam berdakwah, artinya menggunakan pendekatan kekerasan dan paksakan, sebagaimana pernah dipertontonkan dalam percaturan politik masa lalu, justru itu hal itu malah mencerminkan perjalanan politik yang gagal. Hal itu bertentangan dengan dakwah sebagaimana diajarkan Rasulullah. Selain itu, orang Indonesia akan sulit menerima Islam, karena dari sejak sebelum datangnya Islam masyarakat sudah memeluk agama Kapitayan.
Kanjeng Sunan Ampel pernah melarang cara dakwah Raden Fatah, yang ingin memerangi ayahnya sendiri, Brawijaya V, yang belum masuk Islam. Tetapi Sunan Ampel melarangnya. Menurut Kanjeng Sunan, bahwa peperangan bukan bagian dari karakter dakwah Islam yang diajarkan para wali. Ajaran Islam menurut Kanjeng Sunan adalah harus disampaikan dengan hikmah dan mau’idzah hasanah (hal.133-134 dan 201). Penjelasan kanjeng Sunan seperti dirujuk pada naskah Serat Sejarah Demak (Kodeks BL Add 12313):
“Sang wiku [kanjeng Sunan Ampel] angandika: Aja mangkono sira ki bayi, ramanira, apa nora nyegah, wong kang mangsuk agamane.” Kanjeng Sunan Ampel berujar dengan tegas kepada Raden Fatah yang memaksakan diri mau memerangi Majapahit: kamu, Raden Fatah, jangan bersikap demikian (negatif, sembrono) kepada ayahandamu sendiri. Apakah beliau pernah mencegah dan melarang orang-orang masuk agama Islam?”.
Rupanya pelarangan Sunan Ampel untuk menggunakan pemaksaan dan peperangan dalam berdakwah karena beliau menghormati kekuasaan Brawijaya V yang telah memberikan kesempatan kepada kanjeng Sunan untuk mengislamkan masyarakat Majapahit saat itu. Sehingga, di Surabaya ini (Pesantren Ampel yang difasilitasi oleh Kerajaan Majapahit) menjadi pusat pengislaman penduduk.
Adapun, alasan lain kenapa Sunan Ampel juga melakukan pelarangan kekerasan dalam berdakwah, karena Rasulullah SAW sendiri tidak melakukan pemaksaan kepada pamannya sendiri, Abu Thalib Abdul Manaf. Bukan hanya Rasulullah, banyak dari para Nabi yang lain yang juga belum berhasil mengislamkan keluarganya tetapi mereka tidak memaksakan. Seperti pengakuan Abu Thalib yang dikutip buku ini:
“Dia (Muhammad (juga tidak marah kalau kita tidak menjadi pengikutnya. Contohnya, aku sendiri masih tetap memeluk agama nenek moyang kita. Muhammad tidak pernah memaksaku memeluk Islam” (hal. 204).
Buku ini sangat menarik sekali untuk dibaca, terutama bagi mereka yang pada saat yang bersamaan sedang menekuni di bidang dakwah agar kehadiran buku ini menjadi pertimbangan dan solusi serta menjadi panduan dalam melakukan gerakan dakwah wasathiyah tersebut. Selamat membaca.
Data Buku
Judul: Madzhab Dakwah Wasathiyah Sunan Ampel
Penulis: Dr H Abdullah Halim, M.Ag, Dr Prihananto, M.Ag dkk.
Penerbit: Pustaka Iman
Tebal: 260 halaman
Cetakan: 2021
ISBN: 978-602-8648-36-3