Meneladan Sikap Tawaduk Kiai Ihsan Jampes

152 views

Sudah lama saya mengagumi figur Kiai Ihsan Jampes. Namun, di tahun 2015, saya baru mulai mendalami sosok inspiratif dari kiai yang pernah menjadi salah satu guru KH Maimoen Zubair ini, khususnya ketika saya melacak keberadaan karya tafsirnya yang berjudul Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān.

Sepanjang penelaahan saya terhadap berbagai literatur dan beragam informasi dari para nara sumber, dapat saya simpulkan bahwa Kiai Ihsan adalah seorang kiai yang sangat alim dan tawaduk. Banyak bukti-bukti nyata dari tawaduk kiai yang mulanya mempunyai nama Bakri itu. Namun, untuk mempersingkat ulasan, di sini dicukupkan hanya dua episode yang hendak saya narasikan:

Advertisements

Episode ke-1: Menghindari Popularitas

Kisah bermula saat Kiai Ihsan nyantri di Pesantren Jamsaren, Solo, Jawa Tengah. Waktu pertama kali masuk mendaftar sebagai santri Jamsaren, ia tidak menyebutkan nama asli abahnya yang masyhur di telinga masyarakat luas, yakni KH Dahlan bin Shaleh Jampes. Tetapi, ia mendaftar dengan nama Bakri bin Abu Bakar.

Ihwal tersebut bukan berarti menunjukkan kebohongan dalam diri Kiai Ihsan. Sama sekali tidak. Sebab, Abu Bakar memang benar-benar nama asli abahnya. Sepulang berhaji dari tanah suci, nama Abu Bakar itu diubah menjadi Dahlan. Kiai Ihsan tampaknya juga mengikuti jejak abahnya. Sepulang dari haji namanya juga diganti. Dari semula Bakri menjadi Ihsan. Mengubah nama setelah menunaikan rukun Islam kelima memang sudah menjadi tradisi bagi kaum muslimin Indonesia tempo dulu. Tujuannya agar perubahan nama itu menjadi pemantik terhadap berubahnya sikap dan perilaku menjadi lebih baik pasca menjalani ritual peribadatan di tanah suci.

Setelah resmi menjadi santri Jamsaren, kiai Ihsan berkehendak untuk menjadi pelayan kiai, atau dengan istilah lain sebagai santri abdi ndalem. Seiring berjalannya waktu, identitas asli Kiai Ihsan mulai terbongkar. Bahwa ia adalah putra dari kiai ternama asal Jampes, Kediri. Mengetahui hal itu, Kiai Ihsan mulai menjaga jarak dan mengambil langkah untuk mengakhiri masa mondoknya di Jamsaren dengan berpamitan kepada pengasuhnya.

Sikap seperti itu dilakukan Kiai Ihsan semata-mata agar dirinya tidak di-gus-gus-kan atau diistimewakan. Ia ingin menjadi dirinya sendiri yang apa adanya. Oleh karena itu, ia berusaha menyembunyikan identitasnya demi menghindari popularitas. Sikap semacam itu tidak hanya dipraktikkan di Jamsaren, melainkan juga di berbagai tempat.

Episode ke-2: Menutupi Kealiman

Kealiman Kiai Ihsan tak dapat diragukan, baik di kancah nasional maupun internasional. Kealimannya terpotret jelas dalam karya-karya kitabnya yang semuanya ditulis menggunakan bahasa Arab yang fasih. Mulai dari Taṣrīḥ al-‘Ibārāt Syarḥ Natījah al-Mīqāt, Irsyād al-Ikhwān li Bayān Syurb al-Qahwah wa al-Dukhān, dan tiga karyanya yang sangat tebal, yakni Sirāj al-Ṭālibīn ‘alā Minhāj al-‘Ābidīn, Manāhīj al-Imdād ‘alā Syarḥ Irsyād al-‘Ibād, dan Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān.

Meski publik telah mengakui akan kealiman Kiai Ihsan, namun secara langsung beliau sama sekali tak pernah menampakkannya kepada siapa pun. Inilah salah satu keistimewaan tabiat yang melekat dalam diri kiai Ihsan.

Mbah Moen—sapaan akrab KH Maimoen Zubair—pernah bercerita bahwa abahnya, KH Zubair bin Dahlan bin Warijo, pernah suatu ketika sowan ke ndalem Kiai Ihsan. Sebagaimana lazimnya etika bertamu, Mbah Zubair mengucapkan salam. Kemudian Kiai Ihsan segera menemuinya dan menjawab salam kiai asal Sarang, Rembang itu dengan penuh rasa ḥurmah.

Dalam pertemuan itu, Mbah Zubair mengawali obrolan ringan dengan menggunakan bahasa Arab. Kiai Ihsan lantas hanya menyahutinya dengan ungkapan, “nggeh, nggeh yai..” (iya, iya kiai).

Setelah topik pembahasan mulai melebar ke mana-mana, Kiai Ihsan mengutarakan, “Ngapunten yai, ngagem boso Jawi mawon. Kulo saget mahami kitab, nanging mboten saget ngendikan coro Arab.” (Maaf kiai, menggunakan bahasa Jawa saja. Saya bisa memahami kitab, namun tidak bisa berkomunikasi verbal dengan menggunakan bahasa Arab).

Mendengar jawaban itu, Mbah Zubair masih terus berulang-ulang berbicara menggunakan bahasa Arab. Namun, Kiai Ihsan juga selalu berkali-kali meresponsnya sembari meyakinkan bahwa dirinya memang betul-betul tidak mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Arab.

Fenomena tersebut memberikan kesan kepada kita bahwa Kiai Ihsan adalah figur yang sangat tawaduk. Beliau berupaya menutupi kealimannya dengan dalih ketidak-mengertian. Padahal, jika menelaah secara mendalam salah satu saja dari karyanya, Sirāj al-Ṭālibīn misalnya, maka kita akan dapat menilai bahwa Kiai Ihsan sangatlah mahir berbahasa Arab. Apalagi, karya setebal 1000 halaman lebih itu ditulis tidak kurang dari delepan bulan di tengah kesibukannya sebagai aktivis pesantren dan melayani umat. Semoga kita bisa ngalap berkat dengan meneladan akhlakul karimah Kiai Ihsan. Allahumma Amin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan