Satu hadiah pembuka bulan kemerdekaan ini saya dapati di Senin sore, 1 Agustus 2022. Setelah menempuh siang yang teriknya begitu menyengat, tiba pada sore hari, jiwa kami dibasuh dengan sejuknya cahaya pengetahuan. Seorang sutradara kenamaan, Tirmizi Abka, singgah di pesantren kami, Pondok Pesantren Baitul Kilmah Bantul, Yogyakarta. Kesempatan itu kami gunakan untuk bincang bersama mengulik jalan panjang liku sebuah kreativitas terbit.
Sudah banyak film yang ia sutradarai. Di antaranya adalah Kalam-kalam Langit, Jejak Cinta, Musyrik, dan lain-lain. Selain menyutradarai beberapa film, bersama Hanung Bramantyo, Abka juga dipercaya sebagai asisten sutradara. Adapun, film yang digarab bersama Hanung, di antaranya adalah Ayat-ayat Cinta, Get Meried, Sang Pencerah, Sultan Agung, Kartini, dan masih banyak lagi. Karya film-film mereka menjadi nominasi penghargaan Festifal Film Indonesia (FFI) selama delapan tahun bertutut-turut. Puncaknya, film Soekarno memenangkan ajang FFI tersebut.
Di balik segala kesuksesannya dalam membuat film, sutradara yang pernah menjadi seorang santri di pondok pesantren di daerah Jawa Barat ini pun menuturkan kisah panjangnya yang harus ditempuh sebelum nama dan karyanya setenar dan sesukses kini.
Pengalaman sebagai seorang santri selama enam tahun itulah yang mendasari keyakinannya untuk tetap teguh menggeluti dunia seni dan kreativitas, meskipun banyak badai menghampirinya pada masa awal-awal menapaki karier.
“Saya memulai perjalanan karier dari nol, tapi satu keyakinan saya, saya berdoa, Ya Allah jika memang ini jalan saya, ini yang hati saya kehendaki, tolong berilah keteguhan dan berkah,” tuturnya.
Tirmizi Abka juga menceritakan bahwa bekerja di dunia kreativitas harus dilandasi dengan pengorbanan dan hati. “Kalau hatinya cocok, pasti ada jalan. Selagi kita mau berpikir terus, pasti akan maju. Seorang yang menempuh jalan kreatif itu tantangannya harus setiap hari berpikir, harus setiap hari membuat sesuatu, meskipun kita bekerja dalam sunyi, meskipun tak ditahui seorang.”