Sependek pengamatan, setidaknya dari tahun 2017 kepentingan politis yang dibonceng agama bukan hal langka. Tensi hangat (panas?) pada tahun itu tidak berhenti sampai berakhirnya hajat Pilgub DKI. Dua tahun setelahnya, tepat pada 2019, hal yang setali tiga uang terjadi lagi. Atau mungkin hal tersebut sudah punya embrio dari masa lalu pada pesta demokrasi yang sama? Saya tidak tahu. Keterlibatan agama di setiap gerakan-gerakan yang pada ujungnya hanya demi tujuan pragmatis membuat problem tersendiri. Gesekan demi gesekan baik atas nama agama secara murni atau hanya kepentingan politis nyaris tidak bisa dibedakan.
Sebagai efek domino dari tahun di mana Ahok harus berhadapan dengan massa Anies yang berjibun, pada tahun 2019 tensi percaturan mengalami eskalasi. Kepentingan yang titik asasinya profan kemudian berganti kulit menjadi sakral. Maksudnya, titik perbedaan dalam menentukan pilihan justru menjurus ke dalam tendensi pembahasan iman. Satu pihak merasa lebih menghayati ajaran Islam daripada pihak lain musabab perantara pilihannya. Dengan bahasa yang berbeda, pendukung calon yang satu merasa lebih representatif mencerminakan Islam dibanding lawannya.
Sampai titik tersebut bisa dipahami mengapa saya menghadirkan klaim bahwa kepentingan politik dibonceng nama agama cukup problematik. Menilik pemikiran politik Islam di Indonesia sendiri dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan besar, sebagaimana dilontarkan Din Syamsudin. Pemikiran aliran pertama yakni mempunyai orientasi ke arah formalistik. Mazhab ini menganut pemahaman pentingnya untuk mempertahankan konsepsi Islam secara formal. Sebagai salah satu contohnya adalah dengan menganggap pentingnya partai politik Islam serta instrumen-instrumen Islamis.
Kedua, kelompok pemikiran yang lebih cenderung menjadikan instrumen Islam sebagai hal yang substansial. Mazhab ini tidak memberikan penekanan terhadap pentingnya instrumen Islam dalam bentuknya yang formalistik. Dengan kata lain, mereka hanya berusaha untuk menjadikan spirit dan etos dari Islam sebagai ruh melebihi apa yang tampak secara formal. Barisan kedua ini tidak memikirkan Islam dengan bentuk kelembagaan, melainkan manifestasi dari nilai universal agama Islam itu sendiri [Udiyo Basuki & Sri Wahyuni, 2004: 344]
Terakhir, kelompok yang barangkali tidak asing di telinga kita, yakni fundamentalis. Meski dinilai sulit menentukan titik diferensial antara mazhab formalis dengan fundamentalis, tetapi saya mencoba untuk menguraikan. Barisan terakhir ini dalam ranah praksisnya kemungkinan lebih ketat dan reaksioner. Utamanya tatkala berada di barisan oposan dari pemerintah yang berkuasa.
Akhirnya, tiga mazhab tersebut cukup mewarnai pentas. Bertolak dari titik inilah, kita bisa membaca bagaimana peluang kelompok Islamis, baik formalis maupun fundamentalis—yang di tahun 2019 cukup agresif—pada gelanganggang 2024 nanti.
Jika hendak mengintip spion, kita mafhum salah satu pentolan dari kelompok Islamis ini adalah Prabowo Subianto. Gemuruh dukungan kelompok Islamis pada Prabowo-Sandi waktu itu memang cukup kuat. Bahkan, awal tahun 2021 elektabilitas Prabowo masih belum bisa digoyang. Baru pada pertengahan tahun lalu elektabilitasnya dikudeta oleh Ganjar Pranowo, sebagaimana laporan Charta Politika. Kendati tak lama sesudah itu elektabilitasnya kembali melejit hingga bulan Agustus.
Semula kita membaca bahwa peluang gerakan kelompok Islamis hanya mungkin ketika Prabowo masuk gelanggang. Hal tersebut diklaim sebagai usaha meneruskan hajat yang pada Pemilu sebelumnya justru dikandaskan pasangan Jokowi-Ma’ruf. Kalau ternyata opsi tersebut justru tidak terealisasi, kemungkinan besar kubu Anies Baswedan yang kelimpahan angin segar. Ini dipahami dari peta tahun-tahun yang telah lewat bahwa pendukung Anies, utamnya yang Islamis, berada di saf yang sama dengan pendukung Prabowo. Kementakan alternatif ini diperkokoh oleh realita elektabilitas Prabowo yang belakangan melemah.
Salah seorang pakar, Sirojuddin, selau Direktur Eksekutif SMRC, mengungkapkan bahwa hal itu disebabkan ketokohan dan karisma dari Prabowo yang juga melemah. Kepopulerannya pada pentas 2019 memang tidak bisa disangkal dan ragukan. Sayang, langkah keseleo ditempuh tatkala ia (bersama Sandiaga Uno bahkan) justru memilih untuk merapat dengan barisan koalisi. Sedikit banyak kekecewaan sebagai implikasi tebersit di wajah para pendukungnya dahulu.
Jika hendak meramal gerakan kelompok Islamis pada tahun 2024, kita harus menaruh kacamata fokus pada dua arah. Pertama, kepada Prabowo Subianto dilanjut Anis Baswedan di urutan kedua. Hanya dua tokoh inilah yang mampu menyerap atensi positif dari kelompok Islamis. Apalagi jika benar sinyal Anis bakal bertarung di gelanggang nanti, yang beberapa minggu lalu digadang-gadang bakal dijaring NasDem. Jika keduanya sama-sama berada di gelanggang, ke manakah suara kelompok Islamis?
Pertanyaan ini cukup naif—untuk menghindari penggunaan kata mustahil. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa elektabilitas Prabowo sedang terjun bebas. Artinya, kita hanya akan menyaksikan bahwa kelompok Islamis kemungkinan berada di kubu Anis. Kita lihat!