Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada presiden ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar (Purn.) Soeharto, masih menjadi bahan perdebatan tak berujung. Bagi sebagian umat Islam, Soeharto adalah sosok “Bapak Pembagunan” yang menjamin stabilitas (istisbat) dan memberikan ruang bagi institusi keagamaan, bahkan mengakomodasi “Islamisasi Orde Baru” di akhir kekuasaannya. Namun, di mata kelompok Muslim reformis dan korban Orde Baru, gelar tersebut bertabrakan dengan nilai kedilan (al-adl) dan pencegahan perusakan, daf’mafasid.
Kemudian, bagiamana seharusnya Islam, dengan kriteria maslahah dan mafsadah yang ketat, menimbang kelayakan gelar pahlawan bagi pemimpin dengan dua sisi mata uang sejarah yang kontras ini?

Dalam perspektif Islam, konsep kepahlawanan bukan hanya sekadar gugur di medan peperangan. Seorang pemimpin harus diukur dari sejauh mana ia berhasil meneggakan prinsip keadilan (al-adl) dan mewujudkan kemaslahtan universal (maslahah ‘ammah). Fikih Siyasah (etika politik Islam) mengajarkan bahwa legitimasi kekuasaan bergantung pada pelaksanaan amanah, yaitu menjaga hak rakyat dan menghindari kezaliman.
Seorang pemimpin ideal harus memenuhi prinsip syura (musyawarah) dan memastikan bahwa imarah al-ardh (pembagunan bumi/ekonomi ) tidak dilakukan di atas fondasi fasad fil-ardh (kerusakan di muka bumi), seperti korupsi dan pelanggaran hak asasi. Inilah dilema inti Soeharto: jasanya dianggap monumental, tetapi mempunyai catatan gelap tak terhapuskan.
Pertama, jasa besar dalam menumpas Gerakan 30S/PKI. Pasca-tragedi 1965, organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah yang merasakan ideologi komunis di Orde Lama melihat Soeharto sebagai “penyelamat” yang telah mengamankan Pancasila dan memberikan ruang bagi Islam. Ini dinilai sebagai maslahah terbesar bagi eksistensi umat.
Kedua, pencapaian stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Stabilitas ini memungkinkan umat Islam menjalankan ibadah dan membangun lembaga pendidikan tanpa gangguan. Sebagian ulama tradisional berpendapat bahwa fokus pembangunan materi (Repelita) adalah prioritas utama pasca-kekacauan yang diwariskan Orde Lama.
Ketiga, akomodasi Islam di akhir Orde Baru. Langkah-langkah strategis seperti pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) dab Bank Muamalat, hingga simbol-simbol pribadi Soeharto (berhaji dan izin jilbab di sekolah), dipandang sebagai pengakuan rezim terhadap kekuatan Islam. Hal ini menimbulkan rasa memiliki di kalangan kelompok santri.
Namun, catatan jasa tersebut harus diimbangi dengan timbangan mafsadah yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adl). Berikut yang terekam dari jejak sejarahnya.
Pertama, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat: kezaliman terhadap nyawa dan HAM adalah dosa besar. Peristiwa seperti Gerakan 30S/PKI (dan pembersihan massal pasca kejadian), penindasa Timor Timur, hingga Tragedi Tanjung Priok yang banyak menelan korban dari kalangan aktivis, merupakan pelanggaran terhadap prinsip hifzu-nafs (perlindungan jiwa) dan Maqashid Syariah. Jasa pembangunan tidak dapat menjustifikasi hilangnya nyawa secara tidak adil.
Kedua, fasad fil-ardh melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang meluas di era Orde Baru adalah bentuk pengkhianatan amanah dan pencurian harta publik yang merusak struktur keadilan sosial ekonomi. KKN dikategorikan sebagai fasad fil-ardh yang dilarang keras, karena merampas hak-hak ekonomi masyarakat miskin demi segelintir elite.
Ketiga, pengebirian kebebasan politik dan pembatasan partai Islam (fusi parpol) dan penerapan asas tunggal dinilai kaum reformis sebagai upaya mengebiri suara politik Islam yang kritis. Ini merusak prinsip syura (musyawarah) dan kebebasan ijtihad (pendapat) politik , yang merupakan bagian dari etika kepemimpinan yang bertanggung jawab.
Dengan demikian, dari perspektif Islam, pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharo menjadi dilema historis yang kompleks. Timbangan keadilan seakan berada di titik tengah jasa-jasa pembangunan dan stabilitasnya yang secara nyata memberikan kemaslahatan. Namun, di saat bersamaan, dosa-dosa kezaliman, korupsi, dan penindasannya turut memberikan beban yang sama beratnya.
Dalam kaidah fikih serimgkali berlaku prinsip “menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat” (daf”ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih). Jika pemeberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Soeharto berpotensi melegitimasi atau menormalisasi fasad fil-ardh masa lalu dan mengabaikan tuntutan keadilan bagi korban, maka gelar tersebut akan selalu menuai kritik tajam.
Bagi Indonesia, gelar kepahlawanan harus menjadi simbol inspirasi moral dan integritas bukan rekonsiliasi pragmatis yang menukar keadilan dengan stabilitas sejarah. Islam mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejati diukur dari ujung tombak keadilan, dan ini sebuah timbangan yang sulit dipenuhi oleh warisan sejarah Orde Baru di bawah kendali Soeharto.
