Kiranya buku ini masih sangat relevan untuk melihat berbagai macam diskursus mengenai keberagamaan dan kebaregaman masyarakat Indonesia, terutama kalangan muslim. Melihat judul buku yang sarat akan pergumulan soal keislaman dan keindonesiaan, penulis buku yang santri itu berusaha menyuguhkan berbagai macam informasi isu-isu keagamaan dan keindonesiaan yang belakangan banyak memunculkan kontroversi dan tidak jarang menjadi bahan diskusi di kalangan mahasiswa dan akademisi.
Keberagamaan masyarakat Indonesia yang jika kita amati kian hari kian banyak menghadapi tantangan yang cukup berat, utamanya bagi kalangan muslim. Paslanya, tidak sedikit yang masih mempertanyakan soal “mengapa Indonesia tidak dibentuk Negara Islam saja?”
Berangkat dari pertanyaan itu lalu banyak bermuncula gerakan-gerakan yang berusaha merongrong kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui berbagai macam propaganda. Misalnya, demokrasi dianggap sebagai sistem kufur dan atau khilafah sebagai solusi umat.
Dari situ hemat penulis bahwa isu-isu yang banyak berkembang yang sudah disebutkan itu merupakan tantangan bagi kita. Tantangannya berupa potensi memudarnya spirit keragaman dan rahmatan lil’alamin dalam setiap diri umat muslim dan umunya masyarakat Indonesia.
Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa keragaman Indonesia dianggap sebagai hal yang membahayakan dan seakan-akan Indonesia hanya dimilik oleh satu golongan saja. Akibat dari itu kemudian mulai marak kasus-kasus dan isu-isu intoleran, dan bahkan bisa dibilang gerakan-gerkan intoleran yang kian hari kian memperluas pengaruhnya.
Buku yang berjudul Menjadi Islam, Menjadi Indonesia ini isinya terbagi ke dalam empat bagian. Bagain pertama mengangkat tema “Romantisme Keislaman dan Keindonesiaan”. Bagian ini banyak menyuguhkan soal keharmonisan antara kebangsaan, keislaman, dan politik bahkan sampai pada spiritualitas-religius sebagai jalan berkah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Bagian kedua mengusung tema “Tantangan Keberagaman dan Keberagamaan”. Pada bagian ini penulis buku sedikit-banyak ingin menyampaikan informasi-informasi menyejukkan tentang toleransi, membudayakan silaturahmi anatar-umat beragama, meraih kedamaian, atau bahkan soal isu-isu radikalisme agama, ancaman disintegrasi bangsa, sebagai tantangan keberagaman dan keberagamaan bangsa Indonesia.
Bagian ketiga diberi label “NU, Pesantren, dan Komitmen Kebangsaan”. Selanjutnya, bagian terakhir, “Gus Dur dan Gus Mus; Para Guru Pencerah Bangsa”. Dari bagian-bagian yang sudah disebutkan tadi, M Zidni Nafi’ sebagai penulis buku ini berusaha mengajak kita semua untuk merefleksikan kehidupan beragama dan berbangsa yang merupakan suatu keharusan dan sulit untuk dipisahkan. Islam dan Indonesia memiliki keharmonisan dan romantisme tersendiri yang tidak saling bertentangan, tapi justru saling mengisi kerumpangan.
Frase kunci dalam buku ini adalah harmoni, yang merupakan keserasian secara bersamaan, keserasian dalam menciptakan kehidupan beragama dan berbangsa yang dapat menciptakan kebersamaan antar-umat beragama dalam bingkai NKRI.
Penulis buku ini mengingatkan bahwa keberagaman di Indonesia mudah sekali tersulut konflik jika tidak dikelola dengan baik dan harmoni, sebagaimana kita dapat menengok situasi social-politik negara-negara Timur Tengah. Tampaknya apa yang terjadi di kawasan Timur Tengah, dalam pandangan penulis, bersumber dari kurangnya menanamkan jiwa nasionalisme dan cenderung sektarian. Kepentingan kelompok lebih utama ketimbang kepentingan persatuan bangsa dan negara.
Presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno, dalam karya besarnya Di Bawah Bendera Revolusi (1963) menyatakan bahwa nasionalisme itu suatu iktikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa” rasa nasionalisme itu menimbulkan suatu rasa percaya diri sendiri, rasa yang mana perlu sekali untuk mempertahankan diri dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang ingin mengalahkan kita. Lalu kemudian kiranya agama wajib dan harus bekerja untuk keselamatan orang-orang negeri yang mendudukinya. Namun sampai dengan hari ini, masih banyak di kalangan umat Islam yang masih sibuk mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara.
Rukun Islam dan Pancasila itu pada prinsipnya sama, cuma beda bentuk ungkapannya saja. Juga umpamanya, kalau ada rukun Kristen, rukun Katolik, rukun Protestan, rukun Budha, rukun Hindu Bali, atau katakanlah rukun aliran kepercayaan; mestinya sama saja, tidak ada yang menyuruh umatnya bangsat-bangsatan, maling, korupsi. Semua pasti demi kemuliaan, keluhuran, kebaikan, dan kebahagiaan (Emha Ainun Nadjib, 2013: 114).
Sebagaimana Gus Dur mencontohkan dalam universalisme Islam, bahwa terdapat lima jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar itu berupa: jaminan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdhu an-nafs); (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdhu ad-din); (3) keselamatan keluarga dan keturunan (hifdhu an-nasl); (4) keselamatan harta benda (hifdhu al-mal); (5) keselamatan hak milik dan profesi (hifdhu al-aqli) (Zidni, 2018).
Sudah sepatutnya kita sebagai warga negara Indonseia harus bisa membawa agama dan Pancasila ini dalam satu tarikan napas, napas Indonesia. Dari situlah kiranya keserasian dan keharmonisan dapat terbangun dan terjaga.
Terakhir perlu disampaikan bahawa buku ini sangat direkomendasikan untuk siapa pun yang tertarik dengan isu-isu dan kajian-kajian kebangsaan, keberagamaan, keragaman, dan keislaman. Sebab, isi buku ini di dalamnya menyuguhkan banyak informasi terkait isu-isu tersebut, dan di sisi lain bahasanya yang interaktif dan mudah untuk dipahami.
“Kita masih bisa memilih hendak beribadah ke mana, tapi kita tidak pernah bisa memilih dilahirkan di mana.” (Candra Malik)
Data Buku
Judul : Menjadi Islam, Menjadi Indonesia
Penulis : M. Zidni Nafi’
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo Kompas Gramedia Building
ISBN : 978-602-04-5540-2
Halaman : xvi+349 hlm
Tahun Terbit : 2018.
sip mantab