Menjamu Kematian

69 views

Delina bermimpi, di depan pintu rumahnya ada kain putih menjuntai di lantai. Alhasil, ia sontak terbangun dengan keringat berlumuran di dahi. Dadanya bergemuruh, tidak bisa tidur lagi.

Setelah bermimpi, ia pun menyadari bahwa anggota keluarganya akan ada yang mati. Hal itu sejurus dengan keadaan putranya yang saat ini sedang sekarat di ranjang pesakitan. Ia juga menyadari bahwa suratan takdir terlalu kuat untuk dapat dibendung.

Advertisements

Meskipun sangat sedih, ia berusaha untuk melupakan mimpinya tadi malam. “Setidaknya, anakku harus bahagia di sisa-sisa umurnya,” gumamnya.

Sekitar pukul delapan pagi, salju turun. Suhu udara sangat rendah dan kelembaban. Ia memakai jaket winter dan kaus kaki tebal untuk menghangatkan tubuh dari dingin yang menusuk tulang. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu membuka pintu dan menguncinya kembali dari luar. Rencananya, ia akan membelikan kado ulang tahun buat anaknya.

“Semoga malaikat kematian tak mengambil nyawa anakku sebelum aku dapat memberikan kado ulang tahun untuknya,” ucapannya sambil mengayuh sepeda. Jalanan dipenuhi salju, membuatnya agak sedikit lebih berat untuk mengayuh sepedanya. Jalan raya tidak sepadat biasanya.

Setelah mengayuh sepeda selama sepuluh menit, ia sampai di toko yang menjual peralatan olah raga, berjarak tiga kilometer dari tempat tinggalnya. Sesampainya di depan toko tersebut, ia tidak lantas masuk ke dalam toko. Ia membersihkan salju yang ada di jaketnya.

Toko tersebut adalah toko terdekat dari tempat tinggalnya. Sebelah barat ada Universitas Columbia yang tidak terlalu jauh dari toko itu. Setelah masuk toko itu, Delina mulai mencari jersey baseball terbaru dari klub Atlanta Braves, untuk ia berikan sebagai hadiah ulang tahun kepada anaknya.

Tapi ia  ragu untuk membelikan jersey itu. Ia pikir, umur anaknya sudah tak lama lagi. Jika, ia membelikan jersey itu, tak ada gunanya baginya. Yang ada hanyalah jersey tanpa pemilik, dan itu hal yang menyedihkan bagi Delina. Tapi, ia juga berpikir, bahwa, mungkin dengan adanya hal-hal yang ia sukai, maka, ia berusaha untuk menolak kematiannya dan berusaha untuk tetap hidup melawan penyakitnya. Gejolak dalam batinnya mulai tak menentu.

Setelah beberapa waktu, ia termenung. Lalu pemilik toko menyapanya dengan ramah.

“Apa yang bisa kami bantu Nyonya?” ucap pemilik toko itu. Toko itu memang memberikan harga terjangkau dengan kualitas yang baik. Sudah memiliki enam karyawan, di antaranya WNI yang sedang menjalani studi program magister di Universitas Columbia.

Selain itu, toko tersebut menawarkan pelayanan yang memuaskan. Di dalam toko itu terdapat kaca besar yang tebal. Pengunjung dapat melihat lalu lintas kendaraan yang melintas.

Setelah disapa oleh pemilik toko, lamunan Delina buyar. Ada wajah bimbang bercampur sedih.

“Ada yang bisa kami bantu Nyonya?” tanya kembali pemilik toko.

“Tampaknya Anda sedang memikirkan sesuatu?” sambungnya ramah.

“Maafkan saya Tuan. Saya sedang banyak pikiran, tolong carikan jersey Atlanta Braves,” pinta Delina.

Beberapa saat kemudian pemilik toko itu kembali lagi menemui Delina dengan membawa dua jersey berwarna merah dan putih bernomor punggung 5 dan 13 berukuran M.

“Maaf Nyonya, yang tersisa hanya dua warna. Untuk warna krem stoknya sudah habis,” ucap pemilik toko itu.

“Tidak masalah Tuan,” jawab Delina. Setelah menyelesaikan pembayaran, ia melirik jam dinding yang terpampang di toko, sudah menunjukkan pukul dua siang.

“Maaf Tuan, apakah di sini menyediakan tempat bagi muslim untuk melaksanakan salat?” tanyanya.

“Tentu saja ada Nyonya. Silakan, Nyonya berjalan ke belakang, lalu belok kanan. Nanti, Nyonya akan mendapati sebuah ruangan kecil di sana. Saya sendiri adalah imigran dari Afrika yang menetap di New York beberapa tahun yang lalu. Kebetulan saya juga seorang muslim.”

“Komunitas muslim di kota ini sudah agak memiliki kebebasan, meskipun kepolisian New York dan badan penegak hukum lainnya masih menaruh kecurigaan terhadap kita,” sambung pemilik toko itu.

“Benar Tuan, semenjak tragedi serangan 11 September 2001 beberapa tahun yang lalu, sepertinya masyarakat mayoritas masih diliputi kecemasan dan kecurigaan terhadap kita,” ucap Delina

“Saya beruntung sekali bisa bertemu dengan Tuan. Saya permisi dulu,” sambungnya. Ia pamit dan langsung menuju tempat salat.

***

Setelah beberapa waktu berselang, Delina sudah kembali ke ruangan depan di toko. Pemilik toko menemuinya kembali.

“Terima kasih Tuan sudah mengizinkan saya untuk salat di tempat Tuan,” ucap Delina

“Sama-sama Nyonya. Sesama muslim harus saling membantu. Saling mendukung satu sama lain. Hidup di negara minoritas memang tidak mudah Nyonya. Apalagi, Nyonya sebagai wanita berhijab tentu akan sulit beradaptasi dengan lingkungan sekuler seperti ini. Kita harus saling menguatkan,” jawab pemilik toko itu tersenyum menjereng gigi, berkulit gelap.

“O, ya Nyonya, kalau Nyonya butuh makanan halal, saya juga punya restoran yang menyediakan makanan-makanan halal yang tidak jauh dari tokoh ini,” sambungnya pemilik toko  itu.

“Baik Tuan. Saya Delina, baru beberapa bulan pindah ke sini, ikut suami. Oh ya, apa boleh saya mengetahui nama Tuan?” tanya Delina.

“Nyonya bisa panggil saya dengan nama Ibrahim,” kata pemilik toko.

Setelah berkenalan dengan pemilik toko, ia segara undur diri, karena ia harus segera ke rumah sakit untuk menemui anaknya di rumah sakit. Kebetulan suaminya yang menemani anaknya selama Delina di rumah. Biasanya mereka bergantian untuk menemani putranya. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung ke ruangan anaknya dirawat.

Pintu berderit pelan. Delina membuka pintu. Matanya penuh sendu melihat sesosok tubuh rapuh tergolek tak berdaya. Kepala plontos bekas jahitan dengan tubuh yang semakin kurus ringkih membuat perasaannya semakin miris.

Mata putranya masih saja terpejam. Napasnya tersengal tak beraturan. Mesin pacu jantung berbunyi. Suara denting jam dinding berbunyi mengalun menyusuri waktu.

Delina duduk di sebelah kiri pembaringan putranya didampingi suami tercinta. Ia memberi sentuhan pada tangan putranya, mencoba memberikan energi doa dan harapan.

“Sabar. Ini cobaan yang mesti kita lalui.” Suaminya mencoba menenangkan. Kemudian menggenggam tangannya.

Karena masih teringat dengan mimpinya beberapa waktu yang lalu, Delina tampak masih belum bisa tenang. Tidur pun tak nyenyak, gara-gara memikirkan itu, seolah-olah bayangan itu selalu menggelayut di pikirannya. Jika ia bangun tidur hatinya terasa gelisah.

Ia mencoba untuk berkomunikasi dengan putranya yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Selang oksigen masih tetap menempel di hidungnya. Tanpa bergerak sedikit pun. Putranya seperti mayat hidup, tergolek seperti seonggok benda mati yang menjadi penghuni di ranjang pesakitan. Alih-alih menghilangkan ingatan-ingatan tentang mimpinya itu, setiap melihat anaknya, selalu terbesit bahwa umur putranya tak lama lagi.

“Bangun Nak, kita akan menyongsong liburan musim dingin ini dengan menyenangkan. Ibu juga sudah membelikan jersey Atlanta Braves, kesukaanmu. Kita akan berkunjung di restoran pemilik toko peralatan baseball yang ramah itu. Apakah kau suka dengan hal itu?” ucapnya sambil menitikkan air mata. Sementara putranya hanya diam tanpa respons, matanya terpejam. Sudah lama, putranya terbaring di ranjang pesakitan. Tumornya semakin ganas.

Delina tertidur di sampingnya. Ia bermimpi, putranya dikejar akar pohon yang menjuntai panjang, dan ia berlari untuk menghindari lilitannya. Putranya berusaha keras berlari kencang. Ia sendiri tak bisa menolongnya. Tubuhnya seperti diikat. Putranya terus berlari, meminta tolong, namun tak ada yang bisa memberikan bantuan.

Seketika Delina terbangun dari mimpi buruknya. Ia melirik jam dinding— sudah tengah malam. Sementara, suaminya tidur di sofa. Kedua tangannya mengusap wajahnya dan menarik napas panjang.

“Sudah dua kali, aku mimpi buruk,” gumamnya.

Kemudian ia membuka jendela yang tertutup gorden berwarna kuning kecokelatan. Dari lantai 3, ia melihat kumpulan lampu kota begitu indah. Ia mencoba untuk mengatur perasaannya. Mengalir air dari bola matanya. Perasaannya tak karuan.

Sementara putranya tampak tergolek, pucat. Tubuhnya bergetar. Napasnya tersengal. Kejang-kejang, seperti sedang memberontak untuk mempertahankan nyawanya yang akan segera dicabut.

Sementara itu, Delina dan suaminya yang mengetahui hal itu, langsung memanggil suster untuk segera dilakukan penanganan. Suster segera memanggil dokter dan menyiapkan peralatan medis. Delina tampak cemas.

Dalam kekhawatiran, suaminya terus memanjatkan doa. Ia terus menggenggam kedua tangannya, memejamkan matanya. Sementara itu, Delina semakin cemas melihat anaknya yang menggeliat-geliat. Sesaat kemudian setelah putranya dinyatakan meninggal, Delina menangis tersedu-sedu dan menatap suaminya dengan perasaan yang janggal.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan