Sebagai santri yang hampir dua puluh empat jam waktunya habis untuk kegiatan mengaji dan belajar, kiranya penting juga untuk mencari sela-sela waktu buat guyonan. Maklum, karakter pesantren yang cenderung mendidik santri untuk bermental sederhana, hemat dan disiplin waktu, di satu sisi menggiring santri menjadi sosok yang serius dan bahkan terkesan monoton hidupnya. Tapi bagi sebagian santri yang cara berpikirnya santai, malah mendorongnya bisa lebih kreatif dalam mengendalikan kegiatan. Tak jarang banyak dari santri yang tetap bisa fokus pada kegiatan sembari tetap guyon dan guyub.
Dalam dunia persantrian, guyon dan guyub adalah satu paket yang tak terpisahkan. Dikatakan bahwa santri selalu guyub, sebab setiap hari mereka selalu bersama-sama dalam menjalankan kegiatan. Kebersamaan inilah yang menumbuhkan sikap untuk saling peduli pada liyan. Di zaman yang serba individual ini, penting kiranya tradisi kebersamaan ditumbuhsuburkan. Dan melalui pesantren, para santri telah terdidik untuk guyub dan simpatik.
Tapi yang paling berkesan ketika menjadi santri adalah saat salah satu teman disambangi oleh orang tuanya. Inilah momen hari rayanya seorang santri. Akan ada banyak barang bawaan (baca: makanan) yang orang tua tersebut bawa untuk putra-putri tercintanya dan tentu bisa dinikmati oleh teman sekamarnya. Sekecil apa pun makanan itu, selagi bisa dinikmati bersama, telah cukup untuk menumbuhkan kebahagiaan dan rasa syukur yang berlimpah.
Tak terkecuali bagi santri Miftahul Ulum Wonokerto, Dukun, Gresik, apalagi ketika telah masuk pada bulan Muharram. Tradisi desa menganjurkan masyarakatnya untuk menyambut bulan ini dengan suka-cita. Tumpeng dan berbagai macam masakan disiapkan untuk dibagikan dan dimakan bersama-sama. Istilahnya bancakan.
Begitu pun para santri Mitahul Ulum. Ketika masuk pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, mereka berbondong-bondong untuk mempersiapkan diri menjalankan puasa Tasyuah dan Asyura. Tradisi ini telah diwariskan turun-tenurun dan mengambil referensi dari nukilan kebiasaan para Salafus Shalih. Puncaknya pada malam sepuluh Muharram akan ada mabar (baca: makan bareng) semua santri dan pengurus pondok.
Berbicara tentang bulan Muharram. Ada banyak kejadian besar yang mewarnai bulan mulia ini. Dari mulai selamatnya Nabi Musa dari kejaran Firaun, berlabuhnya bahtera Nuh di bukit Zuhdi, juga Nabi Ibrahim yang selamat dari siksaan Namrud. Inilah kiranya yang menjadi alasan mengapa pada bulan tersebut umat Islam menjalankan laku syukur dengan berbagi makanan. Adanya acara mayoran tentu berlandaskan bahwa sedekah itu bisa menolak bala.
Tak hanya itu. Di beberapa pesantren besar, sepuluh Muharram adalah hari di mana banyak diselenggarakan acara santunan anak yatim. Beberapa anak yatim didatangkan ke pesantren untuk diajak bergembira, diajak makan bersama, dan disantuni. Kemudian pengasuh dan pengurus pondok satu per satu mengelus kepala anak yatim tersebut dan minta didoakan agar selamat dunia-akhirat.
Santri memang seharusnya memegang prinsip untuk selalu peduli pada sekitar. Tak hanya pandai mengkaji kitab kuning saja, kasih sayang pada sesama harus selalu dijaga dan ditingkatkan. Memang para santri identik dengan kebiasaan yang sederhana dan suka guyonan. Tapi, mental gotong-royong dan tanggap pada masyarakat adalah juga karakteristik seorang santri. Ini sinergis dengan sunah Kanjeng Nabi. Betapa laku keseharian Nabi Muhammmad adalah samudera nilai dan hikmah. Kesederhanaan dan sikap welas-asih beliau adalah warisan nilai yang harus benar-benar diikuti.
Kanjeng Nabi juga dikenal masyarakat arab sebagai pribadi yang murah senyum dan suka guyon dengan anak-anak. Beliau sendiri telah memploklamasikan diri sebagai ayahnya para anak yatim, dan berjanji pada mereka yang mencintai kaum dhuafa dan anak yatim kelak akan dibersamai Nabi di akhirat nanti.
Semoga kita semua tergolong umat yang diberi taufik Allah untuk selalu mengikuti akhlak Nabi. Semoga.