Musik sebagai Jalan Keluar Sikap Fanatisme

57 views

Dalam suatu pertemuan yang hangat dengan rekan lama, salah satu obrolannya mendorong saya kembali memikirkan tentang sikap anti liyan terhadap keragaman.

Diskriminasi terhadap kelompok liyan selalu kita saksikan baik secara langsung atau dari gawai media sosial kita. Sebut saja penolakan kegiatan terhadap kelompok liyan, caci maki dalam konten media yang tidak lepas dari menyalahkan yang lain dan membanggakan diri. Itu semua merupakan bentuk sikap fanatisme yang mengakar dalam kehidupan kita.

Advertisements

Berawal dari obrolan ringan, tidak disangka tidak diduga, topik tersebut selalu membayangi pikiran penulis. Ada fakta yang sedemikian itu belum juga penulis temukan alasan logisnya yang dapat diterima. Bahkan, sebaliknya, hal itu hanya dapat merugikan pihak lain. Dari situ juga tak dapat kita elakkan nilai sinis yang bersifat negatif pun menghampiri identitas kita.

Dalam sejarahnya, sikap fanatisme yang sedemikian juga terdapat dalam kehidupan Islam di zaman kekhalifahan Cordoba. Sayangnya, justru sikap demikianlah yang menjadikan kemunduran kerajaan Islam.

Diriwayatkan bahwa terebutnya kerajaan Islam di Cordoba oleh kerajaan Kristen tak lain karena kuatnya sikap fanatisme yang mengakibatkan umat terpecah belah.

Selanjutnya, sejak runtuhnya kekhalifahan di Cordoba, hanya Dinasti al-Ahmar-lah satu-satunya masih bertahan kokoh. Namun, tak lama kemudian juga mengalami kemunduran yang serupa dengan sebab yang sama. Sikap fanatisme bermazhab menjebak mereka. Mereka bertaklid buta pada rumusan fikih Maliki generasi akhir. Bahkan meraka menghukumi seseorang yang tidak berpedoman sama dengan dirinya telah keluar dari agama (K A Muntaha, 2024).

Dari situ kita paham bahwa kemunduran dan pecah belah dapat terjadi, tiada lain karena sikap fanatisme yang mengakar dalam tubuh masyarakat . Dan itu hukum sejarah yang ‘ibrah-nya perlu kita petik dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata kini dan di sini, juga di Indonesia yang kehidupannya penuh dengan keragaman dan kemajemukan.

Karena, belajar menerima keragaman tidak hanya dari sejarah atau di dalam ruangan formal. Justru, belajar menerima keragaman dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja bagi kita dan mereka yang ingin menjadikan perbedaan sebagai rahim dari kerukunan dan kasih sayang antar sesama. Baik itu dari buku, film, bahkan juga lagu.

Sebagai contoh, lagu yang berjudul Orang-Orang di kerumunan karya band rock lokal Fstvlst. Menurut hemat penulis, lagu ini memiliki maksud yang bernuansa untuk menyatukan perbedaan, yang dapat kita jadikan sebuah jawaban dalam menghadapi perbedaan.

Belajar Keragaman dari Musik

Lagu Orang-Orang di kerumunan karya band rock lokal Fstvlst itu dapat kita hayati dari lirik ke lirik. Liriknya bisa membuat kita sadar akan masifnya kebencian yang lahir karena perbedaan, baik berbeda dalam agama, suku, aliran, bahkan juga kubu politik. Demikianlah liriknya:

Orang-orang di kerumunan berjejalan di lingkaran
Mengitari satu altar sesembahan
Mereka menari dengan mata terpejam, kerasukan
Jiwanya sudah tak lagi bersemayam

Lalu meracau, tak setuju maka beda kubu
Tak sepaham lantas baku hantam
Yang seiman saling menerakakan

Merekalah kerumunan yang lupa
Kerumunan yang lupa
Bahwasanya aku kau mereka sama
hanya manusia, sama manusianya, yang seharusnya.

Lirik tersebut merupakan fenomena nyata yang kita hadapi. Mereka yang tak setuju berujung beda kubu. Mereka yang tak sepaham berujung baku hantam. Bahkan, yang seiman pun saling mengkafirkan. Seakan mereka merasa dengan kesalehan ritualnya, surga berada di genggamannya. Dan seakan mereka lupa justru menghormati sesama juga sebagai bentuk kesalehan yang bernuansa sosial. Hal itu yang dalam sindiran Gus Mus bahwa “kita masih primitif dan ndeso dalam beragama” (Zaini, 2018).

Dalam lirik selajutnya terdapat makna yang sebagai isyarat, bahwa kita dan mereka sama-sama manusia yang seharusnya saling sayang dan berbagi kebahagiaan. Tak melihat siapa dan aliran apa yang mereka anut, yang kebahagiaannya juga kebahagiaan kita dan dukanya pun duka kita.

Dalam hemat saya, lirik tersebut memiliki arti yang senada dengan pemahaman mainstream kita bahwa keimanan seseorang dapat diukur dengan kecintaan terhadap orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.

Di samping itu juga, sikap nerimo, legowo dan menghormati antarsesama merupakan buah output yang lahir dari transformasi kesalehan ritual ke kesalehan sosial. Berikut ini liriknya:

Saling peluk selayak saudara
Saling jaga seperti keluarga
Berbagi cinta berbagi bahagia
Menjauhi kerumunan yang lupa
Kerumunan yang lupa
Bahwasannya aku, kau, mereka

Turut berbela sungkawa atas sekaratnya jiwa
Para berkerumun tertawa-tawa
S-s-sempitnya ruang bahagia
Yang seharusnya luas tak terbatas

Dan turut berduka cita, atas tak berartinya bunga
Terganti umpat benci, caci maki, bunuh dan lukai, benci dan lukai.

Dengan begitu, sikap terbuka sangatlah penting bagi kita, karena pengetahuan dan kebenaran bukan hanya datang dari ruang formal, melainkan datang dari berbagai arah. Sebaliknya, mereka yang bersikap anti liyan dan hanya membenarkan dirinya, semua itu merupakan akibat dari sikap menutup diri yang tentu jelas lebih awal untuk menolak kalangan lain.

Pendeknya, tulisan ini sebagai refleksi kita bahwa mengakarnya sikap fanatisme dapat meruntuhkan sebuah kekuasaan pada zaman dulu. Hal serupa dapat terjadi kini dan di sini jika fanatisme terus dilanggengkan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan