Namaku Ananda

121 views

Namaku Ananda. Aku tidak pernah menyadari di mana aku berada. Aku ditakdirkan mengenal dua manusia yang sangat baik hati dan penyayang. Aku memanggilnya Ibu, jika yang kudengar suara perempuan, dan Ayah jika suara laki-laki. Namun entah, aku tidak tahu bagaimana bentuk rupa mereka. Bu Desi, guruku, bilang, bahwa kita yang dapat bicara disebut manusia.

Kata Bu Desi, manusia ada banyak; ada manusia yang rakus macam tikus, doyan makan apa saja dan dengan segala cara; manusia macam singa yang merajai satu kawasan karena banyak harta dan punya kekuasaan. Maka aku tak tahu, mereka termasuk jenis manusia mana.

Advertisements

Sebenarnya tidaklah penting mengetahui keberadaan, bukan? Kata Ibu, di manapun tempat, jika kau punya alasan untuk bahagia, maka tidak masalah. Mataku selalu melihat gelap. Entah apa, aku tidak mengetahui warna. Kata orang, warna ada banyak– hitam, kuning, putih, merah, hijau, dan masih banyak lagi.

Orang bilang, dunia adalah tempat yang indah, tapi tidak pernah aku melihat dunia. Aku tak tahu, apa mata semua orang dapat melihat bentuk mataku sipit atau lebar, hidungku mancung atau pesek, atau apapun yang ada di sekitarku.

Sering kumengeluh pada Ibu dan Ayah soal kenapa yang kulihat hanya gelap. Ibu bilang bahwa aku tidaklah berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. “Kau hanya melihat dengan cara yang berbeda, An.”

“Kalau orang dapat melihat dengan mata, kau dapat melihat dengan hati,” kata ibu. “Kau dapat melihat dengan cara mencium dan meraba. Kalau kau mencium bau anyir dan amis, maka rabalah bentuknya. Jika kau temui cair, maka itu namanya darah. Jika padat dan kasar, maka itu namanya daging sapi yang tidak segar.”

Jika pagi datang, aku duduk di kursi depan rumah. Ibu menyuguhkan teh panas. Kurasai tubuhku terasa hangat. Ayah bilang bahwa itu adalah matahari. Aku tidak pernah melihat matahari.

“Bagaimana bentuk matahari, Yah?”

“Bundar, An, seperti ini.” Ayah memegang tanganku. Kurasai ia seperti menggerakkan tanganku menjadi angka nol. Guruku, Bu Desi, bilang, bahwa bentuk angka nol adalah seperti gerakan yang barusan diajarkan ayah.

“Oh, bundar itu angka nol ya, Yah?”

“Nah, benar, An,” katanya. “Ayah berangkat kerja dulu, An.” Lalu mencium keningku.

Suatu pagi, –kata ibu, jika kurasai tubuhku hangat, maka itu namanya pagi – aku tidak merasakan kehangatan. Maka aku bertanya pada ibu kenapa hari ini tidak hangat. Ibu bilang, langit sedang mendung. Sebentar setelah itu, ada suara yang memekikkan telinga. Aku kembali bertanya pada ibu: “Itu suara apa, Bu?”

“Itu namanya petir, An. Nenek bilang, petir adalah suara cambuk malaikat yang sedang menghukum setan,” jawabnya.

Sejurus kemudian, Bu Desi datang. Aku hafal betul dengan suaranya yang lembut. Kata Ibu, rumah Bu Desi tidaklah jauh dari rumahku.

“Sudah sarapan, An?” tanya Bu Desi. Setiap pagi ketika akan mengajariku ilmu, Bu Desi selalu bertanya soal sarapan. Bu Desi bilang, orang yang ketika belajar dalam keadaan lapar, maka otaknya tidak akan fokus.

“Pastinya sudah dong,” jawabku penuh kegirangan. Bu Desi adalah satu-satu manusia selain Ibu dan Ayah yang kukenal hingga saat ini.

Aku tak tahu, berapa usiaku saat ini. Tapi agaknya, kurasai tubuhku semakin meninggi. Lama-lama, juga kurasai dadaku semakin membesar. Aku heran dan bertanya pada Ibu: “Bu, dadaku semakin membesar, apa ini penyakit?”

Ibu tertawa terpingkal-pingkal. Aku heran dibuatnya. “Kenapa tertawa?”

“Ya memang seperti itulah wanita, An.” Ia lalu mengelus-elus kepalaku.

“Ayo belajar dulu, An,” ajak Bu Desi.

Ibu pamit kerja. Entah apa pekerjaan Ibu. Ia tak pernah bilang padaku.

Setiap hari, Bu Desi selalu datang ke rumah untuk mengajariku ilmu apapun. Ilmu yang paling kugemari dari semua ilmu yang disampaikan Bu Desi adalah sejarah. Hari ini adalah hari Selasa. Jadwal pelajaran hari Selasa adalah ilmu sejarah.

“Kali ini aku mau bercerita tentang seorang ulama besar, An.” Bu Desi memulai pembicaraan.

“Sepertiku, Bu?”

“Iya, An,” jawabnya, “Seorang ulama itu bernama Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad. Beliau adalah seorang ulama besar dari negara Yaman, berkediaman di Hadramaut. Ketika terlahir dari rahim ibunya yang suci, beliau dalam keadaan buta sepertimu.”

“Aku ke belakang, Bu, ke kamar mandi.”

“Iya, An.” Aku ke kamar mandi. Ibu memberitahuku jalan menuju kamarku, kamar mandi, ruang tamu, dan tempat sholat. Aku hafal betul tanpa harus merabai depanku. Selepas dari kamar mandi, aku kembali ke ruang tamu.

“Siapa, An, nama ulama tadi?”

“Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, Bu.”

“Anak pintar,” tukasnya.

Bu Desi diam. Entah apa yang ia lakukan. Sekali lagi, aku hanya melihat gelap, kawan.

“Dan kau tahu, An, ketika tahu Imam Abdullah terlahir dalam keadaan buta, ayahnya, Alawi, mengucapkan kalimat seperti ini: ‘Alhamdulillah, ya Allah, Engkau takdirkan Abdullah menjadi orang buta, setidaknya ia tidak punya kesempatan untuk melakukan maksiat mata. Menginjak dewasa, Imam Abdullah kecil selalu shalat dua ratus rakaat setelah shalat Dhuha. Tidak hanya itu, yang membuatku terkagum-kagum dengan beliau adalah produktif menulis. Banyak sekali kitab-kitab karangan beliau yang masih dipelajari hingga saat ini. Aku juga sering baca karangan beliau.'”

Aku khuyuk mendengarkan cerita Bu Desi.

“Sekian pelajaran sejarah hari ini, An. Bu Desi pulang dulu,” katanya. Kurasai semilir angin kentara menabrak tubuhku yang entah aku tak tahu bentuknya. Ini menunjukkan bahwa hari telah sore. Kata ibu seperti itu. Ayah juga bilang, kalau sore, jalanan seperti neraka yang berkobar-kobar; disesaki oleh mereka yang saling beradu amarah.

***

Tepat di hari ulang tahunku yang ketujuh belas, Ayah membawaku ke rumah sakit untuk operasi mata. Kata Ibu, setiap bulan, Ayah dan Ibu menyisihkan gajinya untuk biaya operasi mataku. Aku selalu membayangkan betapa bagus dan indah wajah Ayah dan Ibu. Jika nantinya aku dapat melihat, maka hal yang paling aku dambakan adalah melihat wajah Ibu, Ayah, dan Bu Desi. Jika nantinya aku bisa melihat, betapa aku akan mempunyai banyak teman dan tidak lagi merasa sendiri.

Kurasai, aku sedang berada di atas kasur, dengan didorong banyak orang menuju sebuah ruang. Ruangan itu dingin. Setelah itu, tak kurasai lagi aku sedang apa. Aku sedang tidak hidup. Apa kematian bisa datang tanpa malaikat Izrail?

“An.” Samar-samar kudengar suara Ibu memanggil namaku. “Hey, kau melihatku, An?”

Kulihat Ibu sedang melambai-lambaikan tangannya tepat di depan mataku. Seperti inikah bentuk tangan itu? Aku cium tangan Ibu. Bau Klorin. Bu Desi bilang, bau klorin adalah bau air mani.

Aku tercengang. Aku bangkit dari tidur lalu duduk di atas kasur pesakitan. Kulihat wajah Ibu begitu cantik mempesona. Rambutnya tergerai sebahu. Pakaiannya ketat. Aku pikir, Ibu seperti Sayyidah Fatimah yang diceritakan Bu Desi padaku tempo hari ketika mengajar ilmu sejarah, tapi ternyata tidak. Kukira Ibu berkerudung dan berpakaian seperti Sayyidah Fatimah. Tapi ternyata tidak.

Aku sapukan pandangan ke sekitar. Kulihat seorang perempuan berkerudung, berkulit hitam berdiri di belakang Ibu.

“Siapa, Bu?”

“Aku Bu Desi, An,” jawab perempuan itu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan