“Teologi yang tidak kontekstual bukanlah teologi,” demikian Eka Darmaputera menulis dalam Konteks Berteologi di Indonesia (2004). Baginya, seorang teolog yang cerdas akan selalu dibuat resah dan gelisah oleh tantangan-tantangan sosial yang berkembang di sekitarnya. Itulah yang barangkali dialami Nurcholish Madjid sebagai seorang teolog di satu sisi, kala dirinya gundah menilik kenyataan umat Islam sebagai kelompok mayoritas yang terpinggirkan.
Melalui karya-karya intelektualnya 1970-1980-an, kita bisa menangkap kegundahan pemikir Islam Indonesia modern yang akrab disapa Cak Nur ini. Kala itu, perkembangan ekonomi bukanlah berada dalam dominasi kaum muslim, melainkan didominasi oleh non-Muslim sebagai kelompok minoritas. Posisi yang kurang menguntungkan bagi kelompok Muslim. Karena umat Muslim saat itu telah mengalami apa yang disebut Cak Nur sebagai kehilangan psychologycal striking force dalam perjuangannya. Semacam ketiadaan daya dorong psikologis yang membuatnya terjatuh dalam lembah kejumudan.
Kejumudan tersebut tampak dalam cara umat memandang dan memperlakukan Islam. Dengan kata lain, Islam diposisikan senilai dengan tradisi, yang pada akhirnya membuahkan pemahaman bahwa menjadi Islamis sederajat berarti menjadi bersifat tradisional (Madjid 2008:229). Respons terhadap gejala ini kemudian secara kritis termaktub dalam bukunya, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan.
Dalam bukunya yang fenomenal itu, ia menulis, “Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi, timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kacamata hierarkis inilah yang di kalangan kaum Muslim telah membuat tidak sanggup mengadakan respons yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.”
Tesis Cak Nur menyebut, umat Islam Indonesia akan kehilangan daya kreativitas dan semangat ijtihadnya ketika berkutat pada tradisi dan penjagaan tradisi yang terlalu ketat. Dari sinilah, musykil melahirkan pikiran-pikiran segar yang mampu mengantarkan ke arah pemajuan dalam segala hal di dunia Islam. Untuk keluar dari kungkungan itu, diperlukan semacam liberasi atau pembebasan pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam.