Masyhur masyarakat Madura menganut perkara dengan unsur patriarkis yang sangat kental, laki-laki menjadi tokoh utama dalam segala aspek. Sebaliknya, nyai selaku perempuan didefinisikan sebagai makhluk yang serba mempunyai keterbatasan.
Masyarakat pada umumnya kurang memberikan penghargaan dan pengakuan kepada nyai. Dalam makna lain, perempuan walaupun mempunyai peran kurang diapresiasi dan tidak ada pengakuan sebagai aktor utama.
Mengutip keterangan Tatik Hidayati, bahwa nyai dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori. Pertama, perempuan yang telah berkeluarga dan sudah berumur tua. Dalam artian, perempuan ketika sudah memasuki usia tertentu yang tergolong tua dapat disebut dengan nyai.
Pengkategorian ini lebih mengedepankan unsur biologis, umumnya pada perempuan yang sudah memasuki umur 50 tahun. Tandanya sendiri dapat ditengarahi dengan kulit keriput, banyak gigi yang tanggal, rambut sudah banyak yang memutih serta postur badan yang tidak tegap.
Kedua, berbanding terbalik dengan kategori yang pertama, nyai merupakan julukan bagi perempuan yang masih berusia muda dibanding orang yang memanggilnya. Sebutan nyai yang dimaksud adalah panggilan kesayangan kepada kekasih perempuannya. Panggilan ini secara eksplisit dapat dijumpai di Jawa Barat.
Ketiga, nyai dihubungkan dengan perilaku dan peran negatif pada sebagian masyarakat. Penilaian atau anggapan tersebut bertujuan untuk merendahkan atau meninggikan derajat perempuan. Namun pada lain sisi perempuan yang menjadi pasangan orang asing, khususnya Eropa diberi julukan nyai, mereka menjadi pasangan tanpa melalui ikatan perkawinan (gundik).
Keempat, kata nyai digunakan untuk pengurus rumah tangga bangsa penjajah Indonesia di masa lampau. Ini senada dengan pendapat Subandio dan TO Ihromi yang mengatakan bahwa nyai diartikan sebagai pengurus rumah tangga keluarga penjajah di Indonesia, lambat laut beralih makna menjadi gundik atau istri simpanan penjajah.
Kelima, nyai merupakan istri kiai atau anak perempuan keturunan kiai. Julukan tersebut biasanya ditujukan untuk penghormatan status sosial. Masyarakat menghormatinya persis seperti bentuk penghormatan yang diberikan kepada kiai.
Berbicara mengenai nyai dalam kategori terakhir tentu merupakan perkara yang tidak dapat dipisahkan dari kiai, santri, dan pesantren. Walaupun eksistensinya kerapkali terkucilkan dan jarang terpublik. Sementara, nyai di Madura tidak hanya berkaitan dengan pesantren, namun juga berhubungan dengan sosial dan tradisi masyarakat.
Nyai merupakan istri kiai, keberadaannya merupakan trah kekiaian yang membuat nyai mempunyai legitimasi simbolik, baik berbentuk jaringan ataupun status sosial. Legitimasi terhadap simbolik terhadap peran nyai di masyarakat. Dengan kata lain, kekuatan budaya dan keturunan yang dimiliki oleh nyai dapat berdampak kepada status dan peran sosialnya, terlebih masyarakat Madura menganut tradisi pesantren.
Dewasa ini, secara sosiologis kata nyai menjadi sangat akrab di kalangan kita, terlebih ketika dikaitkan dengan sosial-keagamaan, berhubungan dengan masyarakat kalangan santri dan pesantren. Mirip dengan kiai mempunyai peran pembimbing dan pendamping agama, nyai sebagai intelektual keagamaan yang mempunyai wawasan lebih tentang permasalahan perempuan.
Kiai merupakan sosok yang mengemban tugas sebagai pemimpin atau orang yang memiliki wawasan keilmuan keagamaan, nyai juga demikian adanya memecahkan persoalan terutama yang berkaitan dengan fikih perempuan serta menjadi pemimpin bagi kelompok perempuan.
Nyai menempati ruang dan ranah tertentu, ruang sosial yang lebih sempit dibanding dengan kiai. Ruang sosial yang digunakan untuk mengajarkan wawasan keagamaan dan memperjuangkan dakwah.
Pada hakikatnya ruang sosial nyai dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama, kelompok pengajian berbentuk kajian yang bersifat rutinan atau doktrin ceramah yang bersifat simultan, di pedesaan biasanya seperti kelompok Muslimat, Fatayat, atau majelis ibu-ibu lainnya.
Kedua, arena politik di mana nyai terjun dan nimbrung di dalam pergulatan politik. Dan ketiga, pondok pesantren tempat para santri menimba ilmu dan melakukan pengabdian yang tujuan primernya adalah tranformasi ilmu agama.
Tiga ruang tersebut yang menjadi wadah nyai untuk berinteraksi dengan perempuan di lingkup sosialnya. Nyai mempunyai tugas dan fungsi sentral dalam kegiatan keagamaan perempuan. Ketergantungan kelompoknya akan membuat pola relasi yang didominasi oleh nyai, dominasi terhadap komunitas perempuan, relasi yang terbangun merupakan relasi kuasa.
Bukan hanya kiai, walaupun jarang dan hampir tidak pernah dibicarakan publik, nyai juga mempunyai peran besar dalam lingkup sosial keagamaan. Eksistensinya tidak dapat dinafikan dan diabaikan begitu saja.