Babad 1771
Begitu aku berdiri di tepi jendela, memandang ganasnya Samudera Hindia, bayangan Sersan Mayor Van Schaar yang dipenggal, berkelebatan seakan memohon pertolongan. Gemetar aku membayangkan pertempuran itu. Aroma laut Muncar seakan amis darah peperangan. Asap pipa tembakau yang aku cecap seperti tak mampu menenangkan gemuruh dalam dada. Rasanya, aku seperti mengisap urat nadi Peltu Kornet Tinne, 41 parjurit infanterri, 15 prajurit korps khusus Dragonders, dan para bintara tamtama yang seluruhnya ikut binasa.
“Kapten Heinrich,” kata Koegel yang berjalan terburu-buru lantas memberi hormat. “Jagalara dan Sayu Wiwit tengah menyusun pasukan. Sepertinya, mereka akan membalas kematian Pangeran Jagapati.”
Tak kutanggapi pernyataan anak buahku itu. Gubernur Jenderal VOC, Van Imhoff, telah mengirimiku surat seminggu lalu. Isinya, memerintahkan aku untuk menyiapkan pasukan sebab Puputan Bayu Kedua pasti terjadi.
“Saya akan menemui Pangeran Sumenep dan Panembahan Bangkalan guna memperoleh sokongan pasukan. Kematian Alap-Alap di medan perang pasti menyakiti rakyat Madura.”
“Bantuan dari Madura tidak akan pernah cukup menumpas Bayu. Datanglah kau ke Mataram. Katakan pada Pakubuwana jika perang ini adalah jihad fii sabilillah. Perang melawan kafir, sebab selama berabad-abad yang lalu, dari era Demak sampai Mataram Islam sekarang, Blambangan tidak pernah memeluk Islam.”
Koegel manggut-manggut. Ia bersiap balik badan, tapi aku mencekalnya. “Jangan lupa,” kataku dengan suara menekan. “Setibanya di Mataram, temui Pujangga Kertasura. Sampaikan padanya, buatkan serat yang isinya menjungkalkan Blambangan.”
Babad 1433
Derap langkah kuda prajurit Majapahit mengoyak-ngoyak punggawa yang aku bawa dari Banger. Tak sedikit dari mereka yang tertancap tombak. Tercabik-cabik anak panah. Sementara dari kejauhan, aku melihat Damar Wulan meliuk-liuk menghunuskan pedang. Ia seakan iblis yang dikirim dari neraka. Bergidik aku mendapatinya memenggal kepala prajurit-prajurit kerajaan.
“Kau manusia tak tahu diuntung, Minak Jinggo!” ujar Damar Wulan kala kami saling berhadapan. “Bukankah Ratu telah memberimu Banger. Tanah yang membentang dari Lamajang hingga Panarukan, tapi sekarang kau malah berontak.”
Mantab, berlatar sejarah mistis, legenda, dan pertempuran,,,
Masih terus belajar, Gus..hehehe…