Pendidikan Islam: Problematika Dikotomi “Ilmu Agama” dan “Ilmu Dunia”

Pendidikan Islam sering kali dibicarakan dalam konteks cita-cita luhur. Visi pendidikan Islam membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Dalam kajian usul fikih, konsep belajar itu disebut dengan ma’lumat. Ma’lumat dibagi menjadi tiga: pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap/perilaku (afektif).

Masalahnya, pendidikan Islam masih menghadapi problem yang bersumber dari dikotomi keilmuan antara ‘ulum ad-din (ilmu agama) dan ‘ulum ad-dunya (ilmu dunia). Dikotomi ini telah menyebabkan pendidikan Islam kehilangan ruh integratifnya. Ia terjebak dalam bentuk yang parsial, dan gagal menghadirkan sosok manusia paripurna sebagaimana yang diidealkan oleh Islam sendiri, yaitu insan kamil.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Akar Historis Dikotomi Keilmuan

Dalam ingatan sejarah, Islam pernah mengalami masa kejayaan ketika ilmu agama dan ilmu dunia tidak dipisahkan. Pada masa klasik Islam seperti masanya Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al-Ghazali, dan Ibn Rushd, ilmu pengetahuan berkembang secara integratif. Filsafat, teologi, kedokteran, astronomi, logika, dan fikih dipelajari dalam satu napas epistemologis: mencari kebenaran sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.

Sehingga pendidikan Islam menemukan jati dirinya dalam hal mengembangkan keilmuan. Dari sana, Islam bisa membuat arah peradaban yang banyak diikuti oleh kalangan yang lain. Bukan hanya sebagai penjawab berbagai persoalan yang dibawa oleh peradaban luar, hingga pendidikan Islam mau tidak mau mengikuti arus itu.

Kolonialisme dan modernisasi Barat, dengan paradigma sekulernya itu, telah menanamkan pemisahan antara ilmu yang “sakral” dan “profan.” Dunia pendidikan Islam di banyak negeri Muslim, termasuk Indonesia, kemudian mewarisi bentuk pendidikan dualistik, di satu sisi ada madrasah dan pesantren yang mengajarkan ilmu agama, dan di sisi lain sekolah umum yang mengajarkan ilmu modern. Dua dunia ini berjalan paralel tanpa banyak dialog epistemik. Akibatnya, pendidikan Islam kehilangan daya transformasi sosialnya dan hanya berfungsi sebagai pelestari dogma, bukan agen perubahan.

Seperti yang dikatakan oleh Abdurrahman Mas’ud, bahwa penderitaan umat Islam Indonesia, itu diakibatkan oleh berkembangnya pola pikir dikotomis. Seperti, istilah santri dan nonsantri di Indonesia sudah semakin menguat. Sampai dekade 1980-an masih terasa ada kesan bahwa santri adalah mereka yang mendalami agama. Sedangkan, yang belajar ilmu-ilmu sekuler adalah mereka yang notebene non antri. (Abdurrahman Mas’ud, Paradigma Pendidikan Islam Humanis (Yogyakarta: IRCiSoD, Cetakan Pertama, Oktober 2020), hlm. 34.)

Paradigma Kognitif-Sentris

Dalam praktiknya, orientasi pendidikan Islam masih sangat kognitif-sentris. Proses belajar lebih banyak diarahkan pada penguasaan hafalan teks dan pengetahuan deklaratif, bukan pemahaman aplikatif. Murid dipaksa mengingat ayat, hadis, atau teori, tetapi tidak diarahkan untuk mengontekstualisasikannya dalam kehidupan sosial. Metode hafalan yang seharusnya menjadi alat bantu spiritual justru menjadi tujuan akhir pendidikan.

Ironisnya, meskipun ranah kognitif mendominasi, ruang bagi berpikir kritis hampir tidak tersedia. Akibatnya, lahirlah lulusan yang tahu banyak tetapi tidak mampu memahami secara mendalam. Mereka dapat mengutip dalil, tetapi gagap ketika dihadapkan pada realitas yang kompleks. Di sinilah terlihat paradoks pendidikan Islam: ia kaya dalam teks, tetapi miskin dalam konteks.

Krisis Fungsi Sosial

Dampak dari sistem yang dikotomis dan kognitif-sentris ini terasa nyata. Jumlah lulusan lembaga pendidikan Islam meningkat, tetapi daya serapnya dalam dunia kerja justru menurun. Banyak sarjana agama yang tidak terserap dalam pasar kerja modern dan akhirnya menjadi beban sosial. Kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam gagal menjelma sebagai investment of human capital.

Padahal, Islam tidak pernah menolak realitas dunia. Islam justru menuntut umatnya untuk iqra’, membaca, memahami, dan berinteraksi dengan dunia. Pendidikan Islam yang menutup diri dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat akan terjerumus menjadi sistem eksklusif yang tidak relevan. Ia akan kehilangan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan manusia dan hanya menjadi alat pelestarian simbol-simbol religius tanpa daya transformatif.

Dari Dogma Menuju Dialog

Karena itu, pendidikan Islam harus dikembalikan kepada wataknya yang terbuka dan dinamis. Islam bukan sistem yang statis, tetapi sistem pengetahuan yang open-ended, senantiasa dapat direvisi dan disesuaikan dengan tantangan zaman. Pendidikan Islam harus membuka ruang bagi integrasi antara wahyu dan akal, antara iman dan ilmu, antara spiritualitas dan rasionalitas.

Al-Qur’an sendiri sebenarnya sudah membicarakan itu dari awal mengenai aspek pendidikan, baik spiritual, intelektual, maupun spiritual. Allah SWT berfirman:

كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”. (Q.S As-Shad [38]: 29).

Menolak perkembangan ilmu pengetahuan atas nama menjaga kemurnian agama adalah bentuk ketakutan epistemologis yang tidak berakar pada tradisi Islam. Para ulama besar masa lalu justru berani berdialog dengan filsafat Yunani, ilmu kedokteran, dan logika Aristoteles tanpa merasa kehilangan iman. Mereka memahami bahwa kebenaran ilmiah tidak mengancam wahyu, tetapi memperkaya pemahaman manusia terhadap ciptaan Tuhan.

Antara Pasar dan Spiritualitas

Tapi masih saja ada sebagian kalangan yang menolak inovasi pendidikan Islam dengan alasan bahwa hal itu berarti tunduk pada sistem pasar dan logika kapitalisme. Argumen ini memang memiliki bobot etis, sebab pendidikan sejatinya tidak boleh hanya berorientasi pada profit atau industrialisasi manusia. Namun, di sisi lain, menolak realitas sosial ekonomi modern sama artinya dengan menolak kenyataan.

Dan kalau kita lihat perjalanan perkembangan keilmuan, itu bukan murni hasil perumusan ilmuwan klasik. Artinya, pendidikan tidak akan muncul tanpa nilai-nilai yang mendasarinya. Pendidikan berkembang seiring dengan menguatnya konsep pendidikan yang mengarah pada bagaimana pendidikan dapat disesuaikan dengan tingkat kebutuhan lapangan kerja. Itu sudah tidak bisa dibantah.

Memang, tujuan pendidikan Islam orientasinya bukan dengan pasar, tetapi menyiapkan manusia agar mampu memaknai dan mengarahkan pasar sesuai nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam yang baik bukanlah yang menolak modernitas, melainkan yang mengislamkan modernitas, menjadikannya sarana kemaslahatan, bukan perbudakan baru.

Integratif dan Transformatif

Pendidikan Islam masa depan harus berani merekonstruksi paradigma lama yang dikotomis. Ia harus memadukan dimensi ‘ulum ad-din dan ‘ulum ad-dunya dalam satu sistem epistemologi tauhidik. Dengan demikian, ilmu tidak lagi dipilah antara “agama” dan “dunia”, tetapi dilihat sebagai jalan menuju pengabdian total kepada Tuhan.

Kualitas pendidikan Islam akan sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mampu melahirkan lulusan yang berpikir kritis, berakhlak, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Hanya dengan paradigma integratif inilah pendidikan Islam dapat keluar dari keterbelakangan dan menjadi pilar peradaban baru yang kaffah, komprehensif, dan berdaya guna.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan