Aku sempat berpikir untuk tidak mencintaimu lagi setelah menjalani bahtera rumah tangga selama lima tahun. Hujan di bulan Juni telah membasahi kebun sayur di dekat rumah. Pagi menjadi dingin, sedingin ucapanmu tadi malam saat aku berpikir untuk tidak mencintaimu lagi.
Karena kesalahanmu itu, kita tidak lagi melihat dan mendengar canda tawa yang biasa menghiasi rumah tangga kita. Rumah sebesar itu kamu biarkan tanpa ada suara rengekan seorang buah hati yang biasa menghidupkan kehangatan keluarga kecil kita. Kamu benar-benar teledor.
“Nak, mungkin kami akan kesepian karena kamu tinggal, tetapi suatu saat nanti, kami akan menyusulmu,” ucapmu dengan raut wajah sebam. Ketika itu aku sudah memandikannya dan tetua desa mengkafani bayi berusia tiga tahun itu.
Setelah menggendong dan mengantarkannya sampai ke peristirahatan terakhir, aku telah berjanji akan membunuh anjing peliharaan kita. Bahkan aku akan membunuh seluruh anjing yang aku temui. Itulah janji seorang ayah untuk anaknya. Janji yang tercipta dari bara api dendam. Api dendam telah mengasah parangku semakin tajam.
Kamu sudah dua kali mengingatkan agar aku mengurungkan niatku, dengan alasan bahwa tidak harus membunuh anjing itu. Anjing itu hanyalah perantara Tuhan untuk mengambil anak kita. Meskipun, kamu juga tahu, bahwa kamu sudah tidak bisa hamil lagi. Kita sudah tidak bisa punya anak lagi setelah anak pertama lahir karena kamu memiliki masalah dengan rahimmu.
Hal itu yang membuatku bersedih sepanjang waktu. Apa yang bisa membuat pernikahan langgeng, jika tidak bisa ada keturunan? Buah cinta telah raib. Tidak akan lengkap pernikahan jika tak ada buah hati.
Jika memikirkan hal itu, kepalaku berdenyut, membuatku semakin bergairah untuk membunuh anjing itu. Memang, api yang berasal dari dendam tidak mudah untuk dipandamkan.
“Bertindaklah setelah amarah tidak menguasai dirimu, Mas,” katamu. “Sebetulnya, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya anjing itu. Kalaupun anjing itu harus mati, apakah anak kita akan hidup kembali? Atau aku bisa hamil lagi?”
Kamu yakin bahwa anjing itu benar-benar tidak menginginkan bahwa dirinya menjadi anjing gila. Tetapi aku masih terngiang-ngiang bagaimana penderitaan yang dialami oleh anak kita. Bibirnya yang dulu tersenyum lembut, saat menjelang kematiannya terhimpit oleh demam yang membara. Kepalanya seperti terasa berat, seolah diserang oleh ratusan jarum yang menusuk-nusuk. Ketidaknyamanan dan keletihan melanda dirinya, meresap hingga ke tulang-tulangnya.
***
Anjing itu mendengus dan menjulurkan lidahnya. Ia berada di gorong-gorong yang gelap dan lembab. Air liurnya keluar secara berlebihan.
Anjing itu merintih dan mengeluarkan bunyi seperti tenggorokannya tercekik. Terkadang melolong dalam kondisi kejang dan di pelupuk matanya, ada air mata yang terus berlinang. Itu artinya dia tidak bisa hidup lebih lama lagi.
Seekor katak mendekati anjing itu. Mungkin katak itu tahu tahu jika anjing itu sedang sekarat. Katak itupun mengeluarkan bunyi. Bunyinya seperti bunyi ketika masa musim kawin di musim hujan.
Sepertinya, katak itu menanyakan pesan terakhir untuknya. Tentu saja dengan bahasa binatang. Napas anjing itu semakin tidak stabil. Di detik-detik kematiannya, Tuhan menyadarkan ingatannya, bahwa dia telah menggigit anak majikannya, hingga menyebabkan bocah itu terkena rabies.
Dari situlah awal air matanya menetes. Dia sangat sayang dengan majikannya, apalagi dengan anaknya. Anjing itu selalu menjaga bocah itu, jika si majikan pergi ke kebun sayur atau saat si majikan sedang repot memasak.
Dia adalah anjing yang baik dan selalu patuh dengan majikannya. Boleh jadi dia sudah dianggap sebagai salah satu anggota keluarga kecil mereka. Dia adalah anjing yang bisa diandalkan untuk menjaga rumah. Dia galak dengan orang asing, namun lembut pada orang yang sudah dikenalnya.
Dia teringat masa-masa ketika dia bermain dengan bocah itu. Hal itulah yang membuat dirinya semakin sedih. Apalagi jika bocah itu dengan sengaja mengelus-elus bulu kepalanya. Tidak hanya menyesal dan sedih, tetapi lebih dari itu, ketika dia menyadari bahwa bocah itu telah tewas akibat gigitannya.
Anjing itu terbaring dengan suara nafas tersengal-sengal seperti derit pintu di dalam gorong-gorong yang dipenuhi oleh dedaunan dan lumpur. Pada detik-detik akhir hayatnya, dia ingat bahwa majikannya telah menolongnya ketika dia tidak tahu lagi harus berlindung saat hujan deras dan terpisah dari induknya.
Gorong-gorong itu memang tempat yang tidak aman untuk berteduh. Sebab, jika hujan mengguyur, gorong-gorong itu menjadi saluran air.
***
Pamong desa telah mengumumkan kepada warga, jika ada yang memiliki anjing agar segera membawanya ke balai desa untuk diangkut ke truk tentara untuk dikarantina. Sudah ada tiga warga yang digigit anjing, dan semua tidak ada yang selamat dari rabies.
Biasanya, anjing-anjing itu digunakan untuk berburu oleh warga. Namun saat ini, untuk sementara, warga akan berburu tanpa menggunakan bantuan anjing.
Sementara itu, anjing malang tersebut masih berada di gorong-gorong dengan penderitaan yang semakin menyakitkan sebelum dirinya benar-benar mati. Di detik-detik kematiannya, dia berdoa kepada Tuhan, agar majikannya dapat memiliki anak lagi. Doa tulus dan rasa penyesalan mengiringi dia sebelum mati.
***
Aku terus mencarinya hingga akhirnya kutemukan anjing itu di bawah kolong jembatan atau gorong-gorong. Suara napas anjing itu terdengar ke telingaku.
Setelah turun dari jembatan, aku tahu jika anjing itu sedang sekarat. Aku mendekat, dan anjing itu melihatku tetapi tanpa reaksi. Entah, apa yang sedang terpikir di dalam benakku. Tangan kiriku langsung memegang bagian leher anjing itu, tangan kanan memegang parang, dan terjadilah penyembelihan.
Aku menyaksikan sendiri, leher binatang itu putus tanpa memberontak sama sekali. Hanya ada suara napas yang akan segera putus dan tubuh kejang sebagaimana nyawa yang akan tercabut oleh jasad.
Kemudian, bangkai anjing itu aku bawa. Aku menguburkannya di dekat pekarangan rumah. Aku menyimpan penyesalan, akan tetapi setidaknya aku membunuh anjing itu demi meringankan ketersiksaan penyakit yang dideritanya. Hanya itu. Soal dendam, aku telah melupakannya. Siapa yang tega membunuh anjing peliharaan dalam keadaan sekarat dengan api dendam? Tidak, aku tidak mungkin melakukannya. Lagi pula, tidak ada yang mampu selamat dari rabies, bukan? Aku membunuhnya dengan kasih sayang.
Dua bulan kemudian, kamu hamil lagi. Ini benar-benar keajaiban. Selama dua bulan menjalani rumah tangga yang hampa itu, aku dan kamu hampir putus asa. Bahkan kamu, memberikan alternatif untuk mengadopsi anak atau bercerai.
Di masa-masa tidak mengenakkan itu, ternyata Tuhan memberikan karunia yang luar biasa bagi kami. Selama masa kehamilan, aku semakin mencintaimu. Kamu terlihat cantik ketika kamu sedang hamil.
Saat melahirkan, di mataku, kamu adalah bidadari tercantik yang pernah ada. Apalagi, jika kamu sedang menyusui, rasanya, aku tidak punya alasan lagi untuk mencintai perempuan lain selain kamu.
Bayi itu tumbuh sehat dan aktif. Saat usianya sudah menginjak tujuh tahun, dia telah menunjukkan betapa dia adalah anak yang baik, patuh dan penurut. Dia galak dengan orang lain, namun lembut pada orang yang sudah dikenalnya, termasuk ayah dan ibunya.